Friday, March 27, 2015

Anime Review: Parasyte - The Maxim (2014)


Suatu malam, seorang pelajar SMA 17 tahun bernama Izumi Shinichi didatangi makhluk asing yang ingin menginfeksi otaknya. Namun karena satu dan lain hal, makhluk yang belakangan disebut sebagai parasit ini gagal mencapai otak dan hanya merenggut tangan kanan Shinichi saja. Kejadian aneh yang menimpa remaja biasa itu mengharuskannya berpartner dengan parasit yang kemudian menamai dirinya Migi. Akan tetapi, Migi bukanlah satu-satunya parasit yang ingin menginvasi bumi. Terlebih lagi, parasit-parasit lain diluar sana malah memangsa manusia sebagai makanan mereka.
‘Parasyte: The Maxim’ yang mempunyai judul original Kiseijuu: Sei no Kakuritsu merupakan anime yang diadaptasi dari manga klasik karangan Iwaaki Hotoshi terbitan tahun 1988-1995. Anime yang dibagi kedalam dua cour itu telah tayang sebanyak 24 episode sejak 8 Oktober 2014 dan berakhir 25 Maret lalu. Meski diadaptasi dari manga jadul, set anime ini tetap menggunakan set masa kini dengan pendekatan modern tanpa merubah inti cerita.
Awal ketertarikan saya menonton ‘Parasyte - The Maxim’ adalah karena versi live action ‘Parasyte’ yang tayang di Indonesia beberapa bulan lalu. Dan melihat premisnya yang menarik digabung bersama genre horor yang menawarkan suguhan gory, tanpa pikir panjang saya merasa harus menontonnya. Walaupun memang, premis cerita tentang mahkluk yang menginvasi manusia bukan barang baru karena beberapa film juga pernah memakai ide seperti ini.
Seperti yang ditawarkan sebelumnya, ‘Parasyte’ memang menyajikan suguhan darah implisit dengan kuantitas yang tidak sedikit. Seperti tak ragu bila para karakter terbunuh secara brutal dan sadis. Meski pada dasarnya hanya berupa gambar animasi, tapi tetap saja terdapat beberapa adegan yang lumayan disturbing. Beruntung untuk yang tidak menyukai tipikal tontonan seperti ini, karena darah bukanlah menu utama disini.
Karena biarpun cipratan darah berlumuran dimana-mana. ‘Parasyte’ juga sanggup menunjukkan sisi komedi dengan caranya sendiri. Kehadiran karakter pembawa tawa juga turut dihadirkan demi meredam ketegangan-ketegangan yang ada. Bahkan melihat Migi, si tangan kanan Shinichipun sudah mengundang kelucuan dilihat dari segi fisik (dalam keadaan normal) yang memang sudah masuk kategori lucu. Karakter Migi disini juga jadi scene stealer. Cara berpikir dan pola analisis logis mengesampingkan emosi manusia yang selalu ia terapkan kala menghadapi berbagai permasalahan menjadi daya tarik yang tak terelakkan.


Namun sesungguhnya, ‘Parasyte’ bukanlah tentang darah, pembunuhan, alien atau semacamnya. Buat saya ini adalah sebuah drama dilematis yang mempertanyakan sisi humanity manusia sebagai manusia. Kenapa parasit bisa datang ke bumi? Apakah parasit yang muncul dibumi dihadirkan sebagai penyeimbang ekosistem alam ditengah keserakahan manusia? Apakah sesungguhnya manusia sudah kehilangan kemanusiannya sebagai manusia? Apakah sesungguhnya manusia sendiri adalah parasit bagi lingkungannya? Atau justru manusia dapat hidup berdampingan dengan parasit dibumi? Pertanyaan-pertanyaan tadi (dan masih banyak pertanyaan lainnya) terus menjadi misteri ditengah plot yang terus bergulir. Bersanding bersama hakikat keberadaan para parasit itu.
Perkembangan karakter yang terjalin dalam ‘Parasyte’ juga berjalan cukup baik. Terutama untuk karakter utama, Izumi Shinichi. Izumi Shinichi memang jadi tokoh sentral yang kental sekali transformasi karakternya. Tidak hanya perubahan signifikan yang terjadi pada fisik dan psikis saja. Mental dan pola pikir Shinichi pun terus mengalami perkembangan di setiap episodenya. Ini yang mungkin membuat Shinichi menjadi lebih dewasa dibanding pelajar SMA seusianya. Memang untuk urusan ini, tidak semua tokoh mendapat jatah pengembangan karakter seperti Shinichi. Bahkan Ayah Shinichi menghilang begitu saja dipertengahan. Namun itu tidak terlalu menjadi masalah, karena diantara mereka masih bisa (sedikitnya) memberi kesan. Tamura Reiko salah satunya.
Konflik terus bergulir setiap episodenya dan semakin meningkat intensitas ketegangannya. Namun sayang ‘Parasyte’ harus mengakhiri kisahnya dengan pola cerita anime kebanyakan. Tak perlu saya bahas karena bisa jadi spoiler. Bukan berarti jelek, hanya saja buat saya pribadi, cara ‘Parasyte’ mengakhiri kisahnya itu sudah sedikit usang. Atau mungkin saya harus memakluminya karena ‘Parasyte’ adalah adaptasi manga 90-an? Hehe. Monolog Shinichi di akhir adalah sebuah konklusi tentang perspektifnya pada apa yang terjadi dan telah menimpanya.
Overall, ‘Parasyte’ adalah anime yang layak tonton. Ceritanya sendiri memang sudah seru diawal. Apalagi temanya yang cukup thought-provoking. Musik yang melatari setiap plotnya juga turut menambah instensitas ketegangan yang ada. Menghadirkan banyak kejutan. Berkesan sangat dewasa meski menghadirkan kehidupan seorang pelajar SMA.
          Skor: 8.2/10

0 comments