Suatu
malam, seorang pelajar SMA 17 tahun bernama Izumi Shinichi didatangi makhluk asing
yang ingin menginfeksi otaknya. Namun karena satu dan lain hal, makhluk yang
belakangan disebut sebagai parasit ini gagal mencapai otak dan hanya merenggut
tangan kanan Shinichi saja. Kejadian aneh yang menimpa remaja biasa itu
mengharuskannya berpartner dengan parasit yang kemudian menamai dirinya Migi.
Akan tetapi, Migi bukanlah satu-satunya parasit yang ingin menginvasi bumi.
Terlebih lagi, parasit-parasit lain diluar sana malah memangsa manusia sebagai
makanan mereka.
‘Parasyte:
The Maxim’ yang mempunyai judul original ‘Kiseijuu:
Sei no Kakuritsu’ merupakan anime
yang diadaptasi dari manga klasik karangan Iwaaki Hotoshi terbitan tahun
1988-1995. Anime yang dibagi kedalam dua cour
itu telah tayang sebanyak 24 episode sejak 8 Oktober 2014 dan berakhir 25 Maret
lalu. Meski diadaptasi dari manga jadul, set anime ini tetap menggunakan set
masa kini dengan pendekatan modern tanpa merubah inti cerita.
Awal ketertarikan saya menonton ‘Parasyte - The Maxim’ adalah karena
versi live action ‘Parasyte’ yang
tayang di Indonesia beberapa bulan lalu. Dan melihat premisnya yang menarik
digabung bersama genre horor yang menawarkan suguhan gory, tanpa pikir panjang saya merasa harus menontonnya. Walaupun memang,
premis cerita tentang mahkluk yang menginvasi manusia bukan barang baru karena beberapa
film juga pernah memakai ide seperti ini.
Seperti
yang ditawarkan sebelumnya, ‘Parasyte’ memang menyajikan suguhan darah implisit
dengan kuantitas yang tidak sedikit. Seperti tak ragu bila para karakter terbunuh
secara brutal dan sadis. Meski pada dasarnya hanya berupa gambar animasi, tapi
tetap saja terdapat beberapa adegan yang lumayan disturbing. Beruntung untuk yang tidak menyukai tipikal tontonan
seperti ini, karena darah bukanlah menu utama disini.
Karena
biarpun cipratan darah berlumuran dimana-mana. ‘Parasyte’ juga sanggup
menunjukkan sisi komedi dengan caranya sendiri. Kehadiran karakter pembawa tawa
juga turut dihadirkan demi meredam ketegangan-ketegangan yang ada. Bahkan melihat
Migi, si tangan kanan Shinichipun sudah mengundang kelucuan dilihat dari segi
fisik (dalam keadaan normal) yang memang
sudah masuk kategori lucu. Karakter Migi disini juga jadi scene stealer. Cara berpikir dan pola analisis logis mengesampingkan
emosi manusia yang selalu ia terapkan kala menghadapi berbagai permasalahan
menjadi daya tarik yang tak terelakkan.
Namun
sesungguhnya, ‘Parasyte’ bukanlah tentang darah, pembunuhan, alien atau
semacamnya. Buat saya ini adalah sebuah drama dilematis yang mempertanyakan
sisi humanity manusia sebagai
manusia. Kenapa parasit bisa datang ke bumi? Apakah parasit yang muncul
dibumi dihadirkan sebagai penyeimbang ekosistem alam ditengah keserakahan
manusia? Apakah sesungguhnya manusia sudah kehilangan kemanusiannya sebagai
manusia? Apakah sesungguhnya manusia sendiri adalah parasit bagi lingkungannya?
Atau justru manusia dapat hidup berdampingan dengan parasit dibumi? Pertanyaan-pertanyaan
tadi (dan masih banyak pertanyaan
lainnya) terus menjadi misteri ditengah plot yang terus bergulir. Bersanding
bersama hakikat keberadaan para parasit itu.
Perkembangan
karakter yang terjalin dalam ‘Parasyte’ juga berjalan cukup baik. Terutama untuk
karakter utama, Izumi Shinichi. Izumi Shinichi memang jadi tokoh sentral yang kental
sekali transformasi karakternya. Tidak hanya perubahan signifikan yang terjadi
pada fisik dan psikis saja. Mental dan pola pikir Shinichi pun terus mengalami
perkembangan di setiap episodenya. Ini yang mungkin membuat Shinichi menjadi lebih
dewasa dibanding pelajar SMA seusianya. Memang untuk urusan ini, tidak semua tokoh
mendapat jatah pengembangan karakter seperti Shinichi. Bahkan Ayah Shinichi
menghilang begitu saja dipertengahan. Namun itu tidak terlalu menjadi masalah,
karena diantara mereka masih bisa (sedikitnya) memberi kesan. Tamura Reiko
salah satunya.
Konflik
terus bergulir setiap episodenya dan semakin meningkat intensitas ketegangannya.
Namun sayang ‘Parasyte’ harus mengakhiri kisahnya dengan pola cerita anime
kebanyakan. Tak perlu saya bahas karena bisa jadi spoiler. Bukan berarti jelek, hanya saja buat saya pribadi, cara ‘Parasyte’
mengakhiri kisahnya itu sudah sedikit usang. Atau mungkin saya harus
memakluminya karena ‘Parasyte’ adalah adaptasi manga 90-an? Hehe. Monolog Shinichi
di akhir adalah sebuah konklusi tentang perspektifnya pada apa yang terjadi dan
telah menimpanya.
Overall, ‘Parasyte’ adalah anime yang layak
tonton. Ceritanya sendiri memang sudah seru diawal. Apalagi temanya yang cukup thought-provoking. Musik yang melatari
setiap plotnya juga turut menambah instensitas ketegangan yang ada. Menghadirkan
banyak kejutan. Berkesan sangat dewasa meski menghadirkan kehidupan seorang
pelajar SMA.
Skor: 8.2/10
Skor: 8.2/10
0 comments
Post a Comment