Saturday, March 21, 2015

Apatis

Menurut KBBI versinya kamusbahasaindonesia.org, apatis berarti acuh tak acuh, masa bodoh atau tidak peduli. Menurut wikipedia, apatis (apati) diartikan sebagai kurangnya emosi, motivasi atau entusiasme. Sebuah istilah psikologis untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh, dimana seseorang tidak tanggap terhadap aspek emosional, sosial atau kehidupan fisik. Wikipedia menggunakan kata apati (bukan apatis) untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh ini. Ini ada benarnya, karena kata apatis bisa merujuk pada sebuah subjek bukan sifat. Seperti halnya marhaenis atau borjuis yang juga menunjukkan subjek, bukan kata sifat. Saya memaknai kata ini sendiri dengan level yang sedikit lebih tinggi daripada hanya sekedar cuek, masa bodoh, acuh tak acuh atau tidak peduli.
Beberapa waktu lalu, dalam post bertajuk 'Nyinyir', saya banyak bercerita tentang hal-hal yang mengundang kenyinyiran dari sekitar saya. Yang berujung pada sebuah kesimpulan, bahwa saya harus belajar untuk tidak langsung nyinyir terhadap hal-hal disekitar. Walaupun terkadang terlihat tidak menarik tetapi harus bisa mengerti bahwa cara orang berbahagia dengan kehidupannya masing-masing itu berbeda-beda. Dan hampir mirip dengan post berjudul ‘Nyinyir’ kemarin, kali ini saya kembali bercerita ngalor-ngidul, ngelantur tentang hal-hal yang kadang membuat saya menjadi ‘Apatis’ akhir-akhir ini. Terutama ketika berbicara soal pemerintahan periode sekarang ini.
Semenjak dulu, dalam urusan yang berbau politik, saya memang agak kurang memiliki awareness. Saya malah cenderung awam mengenai persoalan seperti ini. Hingga pada tahun 2014 lalu, ketika negara ini menggelar sebuah pesta rakyat bertajuk pilpres, yang diluar dugaan sanggup mencuri perhatian saya. Hegemoni yang begitu besar di masyarakat membuat saya menjadi lebih care terhadap hal ini. Seakan terbawa euforia yang besar saat itu, saya yang tadinya biasa-biasa aja dan terkesan cuek lantas menjadi rajin mengikuti update dan perkembangan terbaru tentang apa yang terjadi. Dan semakin antusias ketika teman-teman sejawat menjadikannya sebagai bahan obrolan. Hingga seiring waktu berjalan, antusiasme saya perlahan memudar.
Rasa antusias yang perlahan mulai luntur bukan tanpa alasan. Melihat media (terutama TV) yang seharusnya menjadi bahan informasi, edukasi dan referensi bagi masyarakat, justru menjadi begitu memuakkan bagi saya. Alih-alih bersikap netral, secara tersirat dan tersurat mereka malah saling memojokkan satu sama lain. Seperti saling melempar kotoran antar satu dengan yang lainnya. Sikut sana, sikut sini. Sindir sana, sindir sini. Seakan menanamkan doktrin bahwa anda harus memilih A karena B bla, bla, bla. Begitu pula sebaliknya. Dan media-media tersebut begitu cerewet mengumbar pemberitaan yang selalu menimbulkan spekulasi liar bagi pemirsanya. Mungkin beginilah jadinya jika media dikuasai politisi. Kepentingan-kepentingan pihak tertentu telah merenggut apa yang seharusnya diperlihatkan pada khalayak.
Belum selesainya kemuakan saya sama kelakuan media, muncul lagi bibit-bibit yang akan membuat saya menjadi apatis. Adalah perilaku orang-orang di socmed yang membuat gerah. Entah datang angin darimana, beberapa pengguna socmed tiba-tiba menjadi politisi, pengamat dan juru kampanye dadakan. Saya sebenarnya fine-fine saja ketika melihat hal itu, malah justru senang karena anak-anak muda zaman sekarang sudah aware sama perpolitikan negara. Hanya saja yang jadi masalah adalah perilaku mereka-mereka di socmed yang terkesan menjengkelkan. Sama halnya dengan media-media yang cerewet, mereka-mereka di socmed juga sama cerewetnya mengagung-agungkan pilihan mereka dan menjelek-jelekan yang lainnya. Mulai dari update status sampai muncul meme-meme yang isinya kadang membuat saya muak. Padahal kalau memang sudah punya pilihan, ya sudah. Tinggal tunaikan pilihan tersebut pada waktunya. Tak perlu menjelek-jelekan calon yang bukan pilihannya. Politisi bukan. Pengamat politik bukan. Juru kampanye juga bukan. Memangnya dibayar berapa sih?
Contoh diatas mungkin hanya berupa efek dari media saja. Di dunia real-nya, juga ada hal yang membuat saya jengkel. Seperti para juru kampanye yang dengan “sekarep-dewek” nempelin-nempelin stiker, poster, dsb dirumah-rumah tanpa seizin yang punya rumah. Masalahnya adalah apa yang ditempel bukan menambah estetika rumah melainkan membuat kaca jendela kotor, cat tembok rusak, dsb. Kalau sudah mendapat izin pemilik rumah, itu tidak masalah. Nah seringnya, oknum-oknum tersebut berbuat seenaknya tanpa sepengetahuan yang punya rumah.
Tidak hanya itu, spekulasi-spekulasi akan adanya bentuk kampanye terselubung bertajuk ‘black campaign’ juga sering menyeruak ke permukaan. Permainan-permainan beralas materi didalamnya bisa saja terjadi. Tapi tenang, yang ini hanya spekulasi saja karena kita tidak tahu apa yang benar-benar terjadi saat itu, dimana dan bagaimana. Walaupun berbagai kemungkinan bisa terjadi. Namun harapannya, secara de facto itu semua tidak terjadi.
Sepintas, mengingat hal-hal diatas membuat saya muak. Sebagai orang awam, saya masih tidak mengerti. Ketika berbagai cara ditempuh untuk meraih tujuan yang ingin dicapai, tak peduli hitam atau putih. Sehingga warna hitam tak nampak hitam. Begitu pula putih yang tak nampak putih. Terasa abu. Semua menjadi bias karenanya. Atau mungkin harus saya sadari bahwa memang cara-cara seperti itulah yang harus ditempuh ketika harus bersaing dalam ranah politik. Sebuah rule of game tak tertulis tapi harus diikuti semua pesertanya. Saya jadi teringat omongan guru PKn saya waktu SMA yang bilang bahwa politik itu kotor. Ketika kepentingan sudah memihak, tak peduli aral apa yang melintang, semua diterjang. Kawan jadi lawan. Lawan jadi kawan.
Apa yang dilihat bercampur dengan spekulasi-spekulasi random tak berkesudahan, membuat saya lelah dan merasa menjadi ‘Apatis’ dibuatnya. Hingga hari H tiba, antusiasme tak seperti saat pesta demokrasi mulai dibuka. Menjelang pengumuman resmi, masih ada terdengar bisik-bisik senyap seperti yang saya sebutkan diatas. Walaupun sesungguhnya peraturan sudah menyuruhnya diam. Ditengah keheningan yang tak benar-benar hening, satu moment lucu dan mengundang kenyinyiran menguap. Jujur, saya nyinyir sekali melihat dengan bangganya para calon pasangan mengklaim kemenangan masing-masing. Di TV masing-masing. LOL.
Singkat cerita, pemenang pilpres telah resmi diketahui. Walaupun masih terdengar kontroversi mengiringi kemenangan pemenang sampai meja hijaupun harus ikut turun tangan. Namun keputusan tetaplah keputusan. Tanggal 20 Oktober 2014, Republik Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat Indonesia bergembira menatap hari baru dimasa depan.
Walaupun saya bukanlah pemilih presiden yang sekarang tapi saya cukup senang karena kita punya presiden baru. Saya punya harapan besar pada sosok presiden yang baru ini. Bahkan majalah ‘Time’ pun memberi headline tentang presiden baru ini dengan tajuk ‘A New Hope’ seperti judul Star Wars Episode IV. Ya, seperti yang kita tahu sosok presiden kita ini telah membuat figur yang baik dimata masyarakat. Sosok yang sederhana, bersahaja dan dekat dengan rakyat seperti telah melekat dalam dirinya. Citra dan image yang telah dibangunnya selama ini telah memenangkan hati rakyat. Membuat ekspektasi yang tinggi buat masyarakat. Motto bekerja dan bekerja untuk masyarakat telah disematkan dalam dirinya. Dan kini telah menjadi orang nomor 1 di negara ini. Memiliki kuasa penuh atas negara ini.
Awalnya semua berjalan baik dengan diiringi nada yang cukup positif. Ketika presiden melakukan seleksi ketat terhadap proses pemilihan menteri dengan melibatkan KPK dan PPATK. Ini jelas sebuah terobosan konkrit ketika presiden dengan tegas akan membentuk sebuah sistem pemerintahan yang bersih. Walaupun masih terdengar selentingan-selentingan abcd terhadap hal ini, tapi masih bisa diterima. Dan pidato internasional presiden di KTT APEC yang menuai banyak pujian dan respon positif. Semakin menambah daftar panjang nada positif pada sosok satu ini. Sampai para pembuat filmpun telah siap memanfaatkan momentum untuk mempromosikan film baru tentang sosoknya. Berjudul sama seperti tagline-nya waktu kampanye dulu.
Waktu terus berjalan sampai sebuah keputusan kontroversial yang paling dibenci rakyat ditetapkan (Kenaikan BBM) merubah persepsi masyarakat. Belum genap seratus hari masa pemerintahan, presiden telah membuat sesuatu yang sedikit merusak citranya sendiri. Bukan apa-apa, isu kenaikan BBM adalah isu paling sensitif di negeri ini. Mungkin akan lain ceritanya jika bukan kenaikan BBM yang diputuskan. Namun kenaikan BBM, sekecil apapun itu, tetap saja bukanlah hal yang disukai rakyat. Sebagian rakyat merasa terluka dibuatnya. Apalagi kenaikan harga yang ditetapkan relatif besar. Hal ini semakin diperparah dengan dengan fakta bahwa tren minyak dunia sedang turun. Ironis memang.
Saat itu saya masih tidak apa-apa sebelum akhirnya saya merasakan sendiri dampaknya. Terutama ketika sering naik transportasi umum. Itu benar-benar terasa sekali beratnya buat saya. Dan ketika saya pulang kampung, tak sedikit orang-orang terutama ibu-ibu disana (termasuk ibu saya sendiri) yang mengeluhkan kenaikan BBM berikut dampaknya. Karena kenaikan BBM, langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kenaikan harga yang lainnya. Yang paling terasa saat itu adalah harga gas elpiji 12 kg yang juga begitu drastis kenaikannya. Saya menjadi marah karena hal itu. Namun saya bisa apa??? Sadar dan tak bisa apa-apa.
Pada akhirnya, memang BBM telah diturunkan namun itu tidak terlalu mempunyai pengaruh yang apa-apa (bahkan ada wacana akan naik lagi). Sekarang-sekarang, harga beras naik, bahan-bahan pokok lainnya juga ikutan naik. Yang tak kalah hebat adalah kurs dolar yang semakin melambung tak terbendung. Dan film yang telah direncanakan tayang untuk merayakan momentum kemenangan hanya bertahan satu hari dan langsung ditarik peredarannya di semua bioskop. Saya berharap semoga film itu tidak akan pernah tayang dinegeri ini.
Biarpun begitu, saya masih mencoba untuk tetap berpikir positif walaupun rasa empati saya turun dan mulai menyimpan kekesalan. Dan masih saja mencoba menaruh harapan pada pemerintahan baru agar bisa membawa angin segar bagi negeri ini. Bahwa keputusan yang diambil pemerintah adalah keputusan terbaik untuk rakyatnya. Bukan untuk mengkhianati rakyatnya. #husnudzon
Namun apa yang terjadi setelah itu adalah episode-episode panjang yang mempertanyakan pemerintahan saat ini. Berawal dari keputusan pencalonan tunggal KAPOLRI baru. Perang cicak vs buaya yang kembali naik ring. Dan permasalahan-permasalahan lain yang turut menyeruak bersamaan dengan hal tersebut. Sampai DKI Jakarta yang notabene pernah berada dibawah pimpinanannya juga ikut larut dalam peta permasalahan yang terjadi. Sampai rakyat dibuat geram dengan langkah presiden yang dinilai kurang tegas dan lamban menyikapi permasalahan yang ada (namun masih saja sanggup tersenyum terkekeh). Ramai trending topic dengan hashtag macam #ShameOnYou... atau #WhereAreYouMrPresident yang timbul sebagai efek dari penantian akan langkah yang akan diambil orang nomor 1 tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut semakin berlarut-larut. Kemudian teralihkan begitu saja dengan isu lain yang mengundang empati. Seperti kasus Illegal Logging yang menjerat nenek Asyani. Kasihan si nenek, diusia tuanya justru harus berhadapan dengan pengadilan dan penjara. Dari sanalah hadir sebuah kesangsian dan pertanyaan besar. Dimana janji pemerintah baru untuk menciptakan pemerintahan yang bersih? Pemerintahan yang tidak diintervensi pihak manapun? Pemerintahan yang bekerja untuk rakyatnya? Dimana?
Mungkin karena saya hanyalah orang awam yang tak tahu apa-apa, makanya saya merasa kesal melihat dan mendengar yang terjadi di negara ini. Merasa lelah dengan semua itu, saya kembali merasa menjadi ‘Apatis’ dibuatnya. Mungkin headline majalah ‘Time’ tempo hari adalah TYPO karena editornya lupa ngedit. Yang dimaksud mungkin bukan ‘A New Hope’ tapi ‘Hopeless’. Mungkin ya. Sekali lagi, mungkin. Biar tidak salah paham.
Dan pada suatu hari, saya mendengar selentingan kabar burung tentang adanya kelompok yang berupaya menurunkan posisi rezim saat ini. Gosip jalanan simpang siur yang tak jelas sumber dan kebenarannya. Kabar lalu yang tak jelas darimana juntrungannya. Tapi yang saya tahu, presiden saat ini memang memilki track record menjabat dalam periode yang tak selesai. Seperti saat menjabat walikota Solo di periode keduanya. Dan saat menjabat gubernur DKI Jakarta 2012 lalu. Mungkinkah track record itu akan berlanjut dimasa jabatan presiden-nya kali ini?
Rasa muak dan marah telah berubah menjadi rasa lelah. Kesal dan geram namun tidak bisa berbuat apa-apa telah berbuah kemalasan. Semua itu berujung menjadi merasa ‘Apatis’ karenanya. Mungkin sebaiknya saya harus mengembalikan diri saya yang dulu yang memang kurang memiliki awareness sama persoalan yang menyangkut negara. Namun tidak berarti menutup hati, mata dan telinga mengenai berbagai persoalan yang menimpa negeri ini. Hanya meyimpan dan menjadikannya pada tahap sekedar tahu saja. Atau penambah wawasan jikalau suatu saat obrolan waktu senggang bersama teman merambah hal-hal yang serius.
Karena permasalahan dan persoalan negara terlalu kompleks untuk dipikirkan terlalu mendalam. Apalagi untuk orang seperti saya yang tidak punya kualifikasi apa-apa (saya mah mikirin skripsi aja dululah). Masalahnya adalah mau kita marah, kesal atau apapun tetap saja tidak memberi efek apapun. Bahkan ketika harus turun ke jalanpun, seringnya tidak merubah apa-apa. Keputusan pemerintah tak bisa diganggu gugat. BBM naik, ya naik. Walaupun usaha seperti itu (kadang) juga perlu dilakukan. Tapi tentu akan lain cerita jika kejadiannya seperti ’98. Namun yang pasti adalah bahwa ketika ada diantara kita benar-benar ingin menjadi 'Agent of Change', maka terjun ke dalam peta permasalahan dan persoalan sampai akarnya adalah jawabannya. Apalagi bekal harta dan kuasa sudah dimiliki. Karena dua hal itu juga masuk hitungan. Lantas bagaimana kita yang tak berharta, tak berkuasa dan bukan siapa-siapa ini?
Satu hal yang saya yakini dari dulu adalah bahwa kita tak perlu terlalu ribet memikirkan persoalan dan permasalahan negara. Menjadi diri yang lebih baik saja itu sudah cukup. Menjalankan hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sedang kita emban saat ini juga  sudah lebih dari cukup. Atau kalau memang masih tergerak untuk melakukan perubahan, maka lakukanlah perubahan disekitar. Kalau merubah sekitar tak bisa, maka rubahlah diri sendiri ke arah yang lebih baik. Bukankah sebelum merubah orang lain, kita harus merubah diri kita dulu?
Siapa tahu perubahan-perubahan kecil yang kita lakukan setiap harinya akan menjadi perubahan besar dimasa mendatang. Lebih bagus kalau dampaknya baik untuk negara. Apa yang saya yakini dari dulu ini diperkuat dengan pernyataan seseorang waktu saya menghadiri acara sebuah forum pertemuan disebuah tempat. Bahkan dicontohkan pada sebuah profesi. Jadi misalkan, kalau anda adalah seorang guru, maka berusahalah memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Siapa tahu, diantara murid tersebut ada satu yang muncul membawa perubahan positif dimasa depan.
Tak ada batasan pasti tentang bagaimana seharusnya kita dalam menyikapi persoalan yang menyangkut negara. Karena memang semua orang punya sudut pandang dan caranya masing-masing. Namun jika seandainya rezim pemerintahan sudah diambang batas dalam menjalankan kuasanya, dan jika tak ada pilihan bagi rakyat selain meruntuhkan tirani pemerintahan. Kenapa tidak? Bukankah jalan yang ditempuh saat menuju reformasipun (kurang lebih) demikian.

0 comments