Menurut
KBBI versinya kamusbahasaindonesia.org, apatis berarti acuh tak acuh, masa
bodoh atau tidak peduli. Menurut wikipedia, apatis (apati) diartikan sebagai
kurangnya emosi, motivasi atau entusiasme. Sebuah istilah psikologis untuk
keadaan cuek atau acuh tak acuh, dimana seseorang tidak tanggap terhadap aspek
emosional, sosial atau kehidupan fisik. Wikipedia menggunakan kata apati (bukan
apatis) untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh ini. Ini ada benarnya, karena
kata apatis bisa merujuk pada sebuah subjek bukan sifat. Seperti halnya
marhaenis atau borjuis yang juga menunjukkan subjek, bukan kata sifat. Saya
memaknai kata ini sendiri dengan level yang sedikit lebih tinggi daripada hanya
sekedar cuek, masa bodoh, acuh tak acuh atau tidak peduli.
Beberapa
waktu lalu, dalam post bertajuk 'Nyinyir', saya banyak bercerita tentang hal-hal
yang mengundang kenyinyiran dari sekitar saya. Yang berujung pada sebuah
kesimpulan, bahwa saya harus belajar untuk tidak langsung nyinyir terhadap
hal-hal disekitar. Walaupun terkadang terlihat tidak menarik tetapi harus bisa
mengerti bahwa cara orang berbahagia dengan kehidupannya masing-masing itu
berbeda-beda. Dan hampir mirip dengan post berjudul ‘Nyinyir’ kemarin, kali ini
saya kembali bercerita ngalor-ngidul, ngelantur tentang hal-hal yang kadang
membuat saya menjadi ‘Apatis’ akhir-akhir ini. Terutama ketika berbicara soal
pemerintahan periode sekarang ini.
Semenjak
dulu, dalam urusan yang berbau politik, saya memang agak kurang memiliki
awareness. Saya malah cenderung awam mengenai persoalan seperti ini. Hingga
pada tahun 2014 lalu, ketika negara ini menggelar sebuah pesta rakyat bertajuk
pilpres, yang diluar dugaan sanggup mencuri perhatian saya. Hegemoni yang
begitu besar di masyarakat membuat saya menjadi lebih care terhadap hal ini.
Seakan terbawa euforia yang besar saat itu, saya yang tadinya biasa-biasa aja
dan terkesan cuek lantas menjadi rajin mengikuti update dan perkembangan
terbaru tentang apa yang terjadi. Dan semakin antusias ketika teman-teman
sejawat menjadikannya sebagai bahan obrolan. Hingga seiring waktu berjalan,
antusiasme saya perlahan memudar.
Rasa
antusias yang perlahan mulai luntur bukan tanpa alasan. Melihat media (terutama
TV) yang seharusnya menjadi bahan informasi, edukasi dan referensi bagi
masyarakat, justru menjadi begitu memuakkan bagi saya. Alih-alih bersikap
netral, secara tersirat dan tersurat mereka malah saling memojokkan satu sama
lain. Seperti saling melempar kotoran antar satu dengan yang lainnya. Sikut
sana, sikut sini. Sindir sana, sindir sini. Seakan menanamkan doktrin bahwa
anda harus memilih A karena B bla, bla, bla. Begitu pula sebaliknya. Dan
media-media tersebut begitu cerewet mengumbar pemberitaan yang selalu
menimbulkan spekulasi liar bagi pemirsanya. Mungkin beginilah jadinya jika
media dikuasai politisi. Kepentingan-kepentingan pihak tertentu telah merenggut
apa yang seharusnya diperlihatkan pada khalayak.
Belum
selesainya kemuakan saya sama kelakuan media, muncul lagi bibit-bibit yang akan
membuat saya menjadi apatis. Adalah perilaku orang-orang di socmed yang membuat
gerah. Entah datang angin darimana, beberapa pengguna socmed tiba-tiba menjadi
politisi, pengamat dan juru kampanye dadakan. Saya sebenarnya fine-fine saja
ketika melihat hal itu, malah justru senang karena anak-anak muda zaman
sekarang sudah aware sama perpolitikan negara. Hanya saja yang jadi masalah
adalah perilaku mereka-mereka di socmed yang terkesan menjengkelkan. Sama
halnya dengan media-media yang cerewet, mereka-mereka di socmed juga sama
cerewetnya mengagung-agungkan pilihan mereka dan menjelek-jelekan yang lainnya.
Mulai dari update status sampai muncul meme-meme yang isinya kadang membuat
saya muak. Padahal kalau memang sudah punya pilihan, ya sudah. Tinggal tunaikan
pilihan tersebut pada waktunya. Tak perlu menjelek-jelekan calon yang bukan
pilihannya. Politisi bukan. Pengamat politik bukan. Juru kampanye juga bukan.
Memangnya dibayar berapa sih?
Contoh
diatas mungkin hanya berupa efek dari media saja. Di dunia real-nya, juga ada
hal yang membuat saya jengkel. Seperti para juru kampanye yang dengan
“sekarep-dewek” nempelin-nempelin stiker, poster, dsb dirumah-rumah tanpa
seizin yang punya rumah. Masalahnya adalah apa yang ditempel bukan menambah
estetika rumah melainkan membuat kaca jendela kotor, cat tembok rusak, dsb.
Kalau sudah mendapat izin pemilik rumah, itu tidak masalah. Nah seringnya,
oknum-oknum tersebut berbuat seenaknya tanpa sepengetahuan yang punya rumah.
Tidak
hanya itu, spekulasi-spekulasi akan adanya bentuk kampanye terselubung bertajuk
‘black campaign’ juga sering menyeruak ke permukaan. Permainan-permainan beralas
materi didalamnya bisa saja terjadi. Tapi tenang, yang ini hanya spekulasi saja
karena kita tidak tahu apa yang benar-benar terjadi saat itu, dimana dan
bagaimana. Walaupun berbagai kemungkinan bisa terjadi. Namun harapannya, secara
de facto itu semua tidak terjadi.
Sepintas,
mengingat hal-hal diatas membuat saya muak. Sebagai orang awam, saya masih
tidak mengerti. Ketika berbagai cara ditempuh untuk meraih tujuan yang ingin
dicapai, tak peduli hitam atau putih. Sehingga warna hitam tak nampak hitam.
Begitu pula putih yang tak nampak putih. Terasa abu. Semua menjadi bias
karenanya. Atau mungkin harus saya sadari bahwa memang cara-cara seperti itulah
yang harus ditempuh ketika harus bersaing dalam ranah politik. Sebuah rule of
game tak tertulis tapi harus diikuti semua pesertanya. Saya jadi teringat
omongan guru PKn saya waktu SMA yang bilang bahwa politik itu kotor. Ketika
kepentingan sudah memihak, tak peduli aral apa yang melintang, semua diterjang.
Kawan jadi lawan. Lawan jadi kawan.
Apa
yang dilihat bercampur dengan spekulasi-spekulasi random tak berkesudahan,
membuat saya lelah dan merasa menjadi ‘Apatis’ dibuatnya. Hingga hari H tiba,
antusiasme tak seperti saat pesta demokrasi mulai dibuka. Menjelang pengumuman
resmi, masih ada terdengar bisik-bisik senyap seperti yang saya sebutkan
diatas. Walaupun sesungguhnya peraturan sudah menyuruhnya diam. Ditengah
keheningan yang tak benar-benar hening, satu moment lucu dan mengundang
kenyinyiran menguap. Jujur, saya nyinyir sekali melihat dengan bangganya para
calon pasangan mengklaim kemenangan masing-masing. Di TV masing-masing. LOL.
Singkat
cerita, pemenang pilpres telah resmi diketahui. Walaupun masih terdengar
kontroversi mengiringi kemenangan pemenang sampai meja hijaupun harus ikut
turun tangan. Namun keputusan tetaplah keputusan. Tanggal 20 Oktober 2014,
Republik Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat Indonesia
bergembira menatap hari baru dimasa depan.
Walaupun
saya bukanlah pemilih presiden yang sekarang tapi saya cukup senang karena kita
punya presiden baru. Saya punya harapan besar pada sosok presiden yang baru
ini. Bahkan majalah ‘Time’ pun memberi headline tentang presiden baru ini
dengan tajuk ‘A New Hope’ seperti judul Star Wars Episode IV. Ya, seperti yang
kita tahu sosok presiden kita ini telah membuat figur yang baik dimata
masyarakat. Sosok yang sederhana, bersahaja dan dekat dengan rakyat seperti
telah melekat dalam dirinya. Citra dan image yang telah dibangunnya selama ini
telah memenangkan hati rakyat. Membuat ekspektasi yang tinggi buat masyarakat.
Motto bekerja dan bekerja untuk masyarakat telah disematkan dalam dirinya. Dan
kini telah menjadi orang nomor 1 di negara ini. Memiliki kuasa penuh atas
negara ini.
Awalnya
semua berjalan baik dengan diiringi nada yang cukup positif. Ketika presiden
melakukan seleksi ketat terhadap proses pemilihan menteri dengan melibatkan KPK
dan PPATK. Ini jelas sebuah terobosan konkrit ketika presiden dengan tegas akan
membentuk sebuah sistem pemerintahan yang bersih. Walaupun masih terdengar
selentingan-selentingan abcd terhadap hal ini, tapi masih bisa diterima. Dan
pidato internasional presiden di KTT APEC yang menuai banyak pujian dan respon
positif. Semakin menambah daftar panjang nada positif pada sosok satu ini.
Sampai para pembuat filmpun telah siap memanfaatkan momentum untuk
mempromosikan film baru tentang sosoknya. Berjudul sama seperti tagline-nya
waktu kampanye dulu.
Waktu
terus berjalan sampai sebuah keputusan kontroversial yang paling dibenci rakyat
ditetapkan (Kenaikan BBM) merubah persepsi masyarakat. Belum genap seratus hari
masa pemerintahan, presiden telah membuat sesuatu yang sedikit merusak citranya
sendiri. Bukan apa-apa, isu kenaikan BBM adalah isu paling sensitif di negeri
ini. Mungkin akan lain ceritanya jika bukan kenaikan BBM yang diputuskan. Namun
kenaikan BBM, sekecil apapun itu, tetap saja bukanlah hal yang disukai rakyat.
Sebagian rakyat merasa terluka dibuatnya. Apalagi kenaikan harga yang
ditetapkan relatif besar. Hal ini semakin diperparah dengan dengan fakta bahwa
tren minyak dunia sedang turun. Ironis memang.
Saat
itu saya masih tidak apa-apa sebelum akhirnya saya merasakan sendiri dampaknya.
Terutama ketika sering naik transportasi umum. Itu benar-benar terasa sekali
beratnya buat saya. Dan ketika saya pulang kampung, tak sedikit orang-orang
terutama ibu-ibu disana (termasuk ibu saya sendiri) yang mengeluhkan kenaikan
BBM berikut dampaknya. Karena kenaikan BBM, langsung atau tidak langsung akan
berdampak pada kenaikan harga yang lainnya. Yang paling terasa saat itu adalah
harga gas elpiji 12 kg yang juga begitu drastis kenaikannya. Saya menjadi marah
karena hal itu. Namun saya bisa apa??? Sadar dan tak bisa apa-apa.
Pada
akhirnya, memang BBM telah diturunkan namun itu tidak terlalu mempunyai pengaruh
yang apa-apa (bahkan ada wacana akan naik lagi). Sekarang-sekarang, harga beras
naik, bahan-bahan pokok lainnya juga ikutan naik. Yang tak kalah hebat adalah
kurs dolar yang semakin melambung tak terbendung. Dan film yang telah
direncanakan tayang untuk merayakan momentum kemenangan hanya bertahan satu
hari dan langsung ditarik peredarannya di semua bioskop. Saya berharap semoga
film itu tidak akan pernah tayang dinegeri ini.
Biarpun
begitu, saya masih mencoba untuk tetap berpikir positif walaupun rasa empati
saya turun dan mulai menyimpan kekesalan. Dan masih saja mencoba menaruh
harapan pada pemerintahan baru agar bisa membawa angin segar bagi negeri ini.
Bahwa keputusan yang diambil pemerintah adalah keputusan terbaik untuk
rakyatnya. Bukan untuk mengkhianati rakyatnya. #husnudzon
Namun
apa yang terjadi setelah itu adalah episode-episode panjang yang mempertanyakan
pemerintahan saat ini. Berawal dari keputusan pencalonan tunggal KAPOLRI baru.
Perang cicak vs buaya yang kembali naik ring. Dan permasalahan-permasalahan
lain yang turut menyeruak bersamaan dengan hal tersebut. Sampai DKI Jakarta
yang notabene pernah berada dibawah pimpinanannya juga ikut larut dalam peta
permasalahan yang terjadi. Sampai rakyat dibuat geram dengan langkah presiden
yang dinilai kurang tegas dan lamban menyikapi permasalahan yang ada (namun
masih saja sanggup tersenyum terkekeh). Ramai trending topic dengan hashtag
macam #ShameOnYou... atau #WhereAreYouMrPresident yang timbul sebagai efek dari
penantian akan langkah yang akan diambil orang nomor 1 tersebut.
Permasalahan-permasalahan tersebut semakin berlarut-larut. Kemudian teralihkan
begitu saja dengan isu lain yang mengundang empati. Seperti kasus Illegal
Logging yang menjerat nenek Asyani. Kasihan si nenek, diusia tuanya justru
harus berhadapan dengan pengadilan dan penjara. Dari sanalah hadir sebuah
kesangsian dan pertanyaan besar. Dimana janji pemerintah baru untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih? Pemerintahan yang tidak diintervensi pihak manapun?
Pemerintahan yang bekerja untuk rakyatnya? Dimana?
Mungkin
karena saya hanyalah orang awam yang tak tahu apa-apa, makanya saya merasa
kesal melihat dan mendengar yang terjadi di negara ini. Merasa lelah dengan
semua itu, saya kembali merasa menjadi ‘Apatis’ dibuatnya. Mungkin headline
majalah ‘Time’ tempo hari adalah TYPO karena editornya lupa ngedit. Yang
dimaksud mungkin bukan ‘A New Hope’ tapi ‘Hopeless’. Mungkin ya. Sekali lagi,
mungkin. Biar tidak salah paham.
Dan
pada suatu hari, saya mendengar selentingan kabar burung tentang adanya
kelompok yang berupaya menurunkan posisi rezim saat ini. Gosip jalanan simpang
siur yang tak jelas sumber dan kebenarannya. Kabar lalu yang tak jelas darimana
juntrungannya. Tapi yang saya tahu, presiden saat ini memang memilki track
record menjabat dalam periode yang tak selesai. Seperti saat menjabat walikota
Solo di periode keduanya. Dan saat menjabat gubernur DKI Jakarta 2012 lalu.
Mungkinkah track record itu akan berlanjut dimasa jabatan presiden-nya kali
ini?
Rasa
muak dan marah telah berubah menjadi rasa lelah. Kesal dan geram namun tidak
bisa berbuat apa-apa telah berbuah kemalasan. Semua itu berujung menjadi merasa
‘Apatis’ karenanya. Mungkin sebaiknya saya harus mengembalikan diri saya yang
dulu yang memang kurang memiliki awareness sama persoalan yang menyangkut
negara. Namun tidak berarti menutup hati, mata dan telinga mengenai berbagai
persoalan yang menimpa negeri ini. Hanya meyimpan dan menjadikannya pada tahap
sekedar tahu saja. Atau penambah wawasan jikalau suatu saat obrolan waktu
senggang bersama teman merambah hal-hal yang serius.
Karena
permasalahan dan persoalan negara terlalu kompleks untuk dipikirkan terlalu
mendalam. Apalagi untuk orang seperti saya yang tidak punya kualifikasi apa-apa
(saya mah mikirin skripsi aja dululah). Masalahnya adalah mau kita marah, kesal
atau apapun tetap saja tidak memberi efek apapun. Bahkan ketika harus turun ke
jalanpun, seringnya tidak merubah apa-apa. Keputusan pemerintah tak bisa
diganggu gugat. BBM naik, ya naik. Walaupun usaha seperti itu (kadang) juga
perlu dilakukan. Tapi tentu akan lain cerita jika kejadiannya seperti ’98.
Namun yang pasti adalah bahwa ketika ada diantara kita benar-benar ingin
menjadi 'Agent of Change', maka terjun ke dalam peta permasalahan dan persoalan
sampai akarnya adalah jawabannya. Apalagi bekal harta dan kuasa sudah dimiliki.
Karena dua hal itu juga masuk hitungan. Lantas bagaimana kita yang tak
berharta, tak berkuasa dan bukan siapa-siapa ini?
Satu
hal yang saya yakini dari dulu adalah bahwa kita tak perlu terlalu ribet
memikirkan persoalan dan permasalahan negara. Menjadi diri yang lebih baik saja
itu sudah cukup. Menjalankan hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sedang
kita emban saat ini juga sudah lebih
dari cukup. Atau kalau memang masih tergerak untuk melakukan perubahan, maka
lakukanlah perubahan disekitar. Kalau merubah sekitar tak bisa, maka rubahlah
diri sendiri ke arah yang lebih baik. Bukankah sebelum merubah orang lain, kita
harus merubah diri kita dulu?
Siapa
tahu perubahan-perubahan kecil yang kita lakukan setiap harinya akan menjadi
perubahan besar dimasa mendatang. Lebih bagus kalau dampaknya baik untuk
negara. Apa yang saya yakini dari dulu ini diperkuat dengan pernyataan
seseorang waktu saya menghadiri acara sebuah forum pertemuan disebuah tempat.
Bahkan dicontohkan pada sebuah profesi. Jadi misalkan, kalau anda adalah
seorang guru, maka berusahalah memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya.
Siapa tahu, diantara murid tersebut ada satu yang muncul membawa perubahan
positif dimasa depan.
Tak
ada batasan pasti tentang bagaimana seharusnya kita dalam menyikapi persoalan
yang menyangkut negara. Karena memang semua orang punya sudut pandang dan
caranya masing-masing. Namun jika seandainya rezim pemerintahan sudah diambang
batas dalam menjalankan kuasanya, dan jika tak ada pilihan bagi rakyat selain
meruntuhkan tirani pemerintahan. Kenapa tidak? Bukankah jalan yang ditempuh
saat menuju reformasipun (kurang lebih) demikian.
0 comments
Post a Comment