Gambar dari sini. |
“You’re the complete serial killer!”
- Anastasia Steele -
Manusia
memang punya hasrat penasaran sama sesuatu hal yang ramai dibicarakan orang. Apalagi
kalau sesuatu itu melabeli dirinya dengan kata “kontroversial”. Tak peduli
apakah kita sudah bisa menerka apa yang akan terjadi, tapi tetap saja rasa
penasaran itu seringkali menggiring jalan kita menuju kesana. Walaupun
terkadang, kita punya praduga kurang baik pada hal tersebut. Dalih sekedar
ingin tahu atau ingin membuktikan apa yang sebenarnya terjadi memang sudah
cukup menjadi alasan kita membuat negasi atas praduga tadi.
‘Fifty
Shades of Grey’ adalah sebuah film yang mempunyai kriteria diatas. Jauh sebelum
filmnya rilis, novelnya memang telah banyak mencuri perhatian orang. Premisnya
yang ‘nakal’ telah mengundang rasa penasaran. Tak pelak, rasa penasaran tadi turut
membawa kesukesesan bagi ‘Fifty Shades of Grey’. Novel dan filmnya laku keras
di pasaran. Namun kesuksesan tadi tidak terlalu berjalan mulus. Premisnya yang (mungkin)
kelewat ‘nakal’, turut memancing pertentangan dari berbagai kalangan. Termasuk
dari kalangan aktivis pembela hak perempuan, karena ‘Fifty Shades of Grey’
dianggap merendahkan derajat kaum perempuan.
Saya
menjadikan ‘Fifty Shades of Grey’ sebagai salah satu film yang saya tunggu
tahun ini (baca: Daftar Film yang (Saya) Tunggu di 2015). Bukan karena alasan film ini drama
romantis-erotis. Saya hanya ingin tahu saja film yang dari masa pembuatan
sampai akhirnya tayang ini selalu dibicarakan banyak orang. Selalu jadi bahan
pemberitaan media-media online. Dari promosi sampai kontroversi yang
mengiringinya. Sebagai penikmat film, saya hanya ingin tahu, sekontroversial apakah ‘Fifty Shades
of Grey’ itu?
Gambar dari sini. |
‘Fifty
Shades of Grey’ merupakan sebuah novel yang ditulis E.L. James yang konon
katanya menjadikan ‘Twilight’ sebagai inspirasi menulisnya. Jadi jangan heran
bila ada kesan ‘Twilight’ dalam ‘Fifty Shades of Grey’. Berbicara soal filmnya,
‘Fifty Shades of Grey’ adalah sebuah drama romantis dengan cerita yang sebenarnya
sudah sangat usang. Sudah banyak sekali cerita dongeng, film, serial drama yang
mengusung premis seperti ini. Seorang wanita biasa yang jatuh cinta pada sosok
pria sempurna bak seorang pangeran. Namun yang beda dari ‘Fifty Shades of Grey’
adalah muatan erotis lewat unsur BSDM-nya. BSDM itu apa? Cari sendiri sajalah. Tapi
kalau saya boleh bilang, itu membuat ‘sakit’.
Ya,
alih-alih menghadirkan aksi pemancing fantasi liar, ‘Fifty Shades of Grey’
justru hadir dengan moment-moment sensual pesakitan. Mengundang rasa iba
melihat si cantik Dakota Johnson harus dicambuki dalam keadaan tanpa busana. Terlebih
lagi, sensualitas yang dihadirkanpun hanya berupa visual tak bernyawa. Tak ada
keintiman yang terjalin disana.
Nilai
minus ‘Fifty Shades of Grey’ dari aspek diatas juga ditambah dari bumbu
romansanya. Entah kenapa, buat saya romantisme yang dihadirkan disini terlalu
standar, cliche dan cheesy. Atau memang ceritanya juga yang sudah
standar, cliche dan cheesy? Adegan terbang disini mungkin
bisa jadi pembeda. Tetapi tetap saja hal itu tidak membuatnya menjadi spesial.
Beruntung Sam Taylor-Johnson masih bisa menyajikan gambar-gambar yang lumayan
artistik.
Terlepas
dari banyaknya kekurangan film ini, harus diakui bahwa dua pemerannya sudah
melakukan yang terbaik. Jamie Dornan walaupun masih terasa kurang kharismatik
tapi tetap mampu membawakan karakter Christian Grey yang perfect. Dakota Johnson dengan wajah cantiknya juga sanggup
menunjukkan totalitas akting yang mumpuni. Walaupun ia harus tampil tanpa
sehelai benangpun menutupi kulit putihnya. Pernah membayangkan tidak betapa
risih dan tak nyamannya bila harus beradegan “seperti itu”? Kalau pernah
menonton film ‘Boogie Nights’-nya Paul Thomas Anderson pasti tahu betapa kompleksnya
pembuatan film-film “seperti itu”. Atau setidaknya, film yang memuat adegan “seperti itu”.
Pada
akhirnya, ‘Fifty Shades of Grey’ hanyalah sebuah drama romantis biasa yang
hanya mencoba tampil berbeda lewat premis sensualnya. Kehebohan yang mengiringi
perjalanan ‘Fifty Shades of Grey’ tak sejalan dengan hasil akhirnya. Terlalu standar.
Tidak ada yang spesial dan berkesan. Konsep nakalnya pun juga terkesan tempelan
semata. Beruntung dua pemeran utamanya tampil dengan cukup baik.
Melihat hasil film pertamanya, masihkah
menanti sekuelnya?
Note: Tentang Christian Grey
Christian
Grey adalah sosok pria biasa. Atau lebih tepatnya, lebih dari sekedar biasa.
Melihat sosok dan pencapaiannya, wanita mana yang tidak meleleh dibuatnya. Namun
ungkapan ‘‘don’t judge a book by its
cover” mungkin ada benarnya. Dan sepertinya itu berlaku buat Christian. Ya, sosok Christian
Grey yang perfect dari luar justru
menyimpan bagian lain dalam dirinya. Sebuah rahasia yang sangat tak biasa untuk
manusia normal pada umumnya. Perilaku seksualnya menyimpang.
Melihat
filmnya kita bisa tahu bahwa dia adalah sosok yang dominan dan intimidatif.
Bahkan dalam urusan seksualitas. Kegemarannya terhadap BDSM, hobi bermainnya
dengan barang-barang aneh mulai dari tali, penutup mata, selotip, borgol, flogger dsb. Semua itu tersimpan begitu
rapi dalam sebuah ruangan. Ruangan khusus yang ia siapkan tidak hanya untuk
menyimpan koleksinya, tapi juga untuk memenuhi hasratnya.
Salah satu adegan dalam film 'Fifty Shades of Grey'. Gambar dari sini. |
Perilaku
menyimpang seperti ini memang selalu membuat saya tidak habis pikir dan tidak
mengerti. Saya suka kesal sebenarnya kalau ada berita di TV tentang pelecehan
seksual. Di Indonesia, berita-berita semacam ini kerap kali muncul. Yang paling
membuat saya kesal adalah ada pria dewasa (bahkan
ada oknum Ustadz) yang tega melakukan hal-hal tak “senonoh” pada anak-anak
kecil. Mungkin dulu kita pernah dengar nama “Emon” yang sempat menggemparkan
Indonesia dengan perbuatannya. Saya kesal karena, kenapa mereka mesti melakukan
perbuatan itu? Come on, man!
Memangnya apa yang didapat dari anak-anak umur 7-8 tahun? Laki-laki pula!
Bahkan dari anak perempuan pun, apa yang bisa didapat? Memangnya apa yang
sebenarnya diperbuat? Saya suka tak habis pikir kenapa ada orang yang bisa
melakukan hal itu. Dan sampai saat inipun saya masih tidak mengerti.
Mungkin saya memang tak bisa mengerti tentang
hal itu, tapi disisi lain saya juga tak bisa seenaknya mengadili dan
menghakimi. Karena bisa jadi ada alasan (yang juga sama saya tak mengertinya)
yang membuat ada orang-orang berperilaku seperti itu. Christian Grey disini
mencontohkannya. Perilaku seksual menyimpangnya memang bukan tanpa alasan.
Dalam filmnya, kita sedikit mendapat penjelasan bahwa perilaku Christian memang
tidak terjadi serta merta begitu saja. Ada masa dimana ia berumur 15 tahun,
seorang teman ibunya melakukan sesuatu tidak mengenakan padanya selama 6 tahun.
Belum lagi background kehidupan
keluarga yang juga sama tak enaknya turut dirasakannya. Trauma masa lalu telah
merubah kepribadiannya. Contoh lainnya, kita bisa lihat dari sosok Alan Turing
dalam film ‘The Imitation Game’. Perilaku homoseksualnya juga bukan tanpa
alasan.
Terlepas
dari itu, ada sisi lain yang cukup menarik dari Christian Grey. Menurut saya
dia adalah tipikal orang yang punya prinsip. Prinsip yang ia anut dibuktikan
lewat sebuah kontak resmi yang tertulis lengkap dengan butir-butir peraturan yang bisa dinegosiasikan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Dia juga berujar bahwa ia
melakukannya hanya pada wanita yang bersedia saja. Walaupun pada kasus
hubungannya dengan Ana, kontrak belum ditandatangani, tapi Christian justru
melakukan kebiasaanya, itu juga atas permintaan Ana. Di awal, Christian sebenarnya
telah memperingatkan Ana untuk menjauh darinya karena ia bukanlah pria yang
tepat untuk Ana. Dalam hal ini, saya tidak mentolelir apa yang diperbuat
Christian. Tapi prinsipnya, membuatnya berkesan lebih elegan sebagai seorang
berperilaku menyimpang.
Di
dunia nyata, saya belum pernah melihat langsung fenomena perilaku menyimpang
tersebut. Yang saya tahu hanya ada banci yang saya juga tak mengerti kenapa
banci itu ada. Lebih seringnya, saya dengar dari pemberitaan di TV saja. Walaupun
masih tak mengerti, namun kalau ditarik sedikit benang sejarah, awal mula
perilaku menyimpang memang pernah terjadi pada zaman Nabi Luth, yang mana Alloh
SWT telah memberi hukuman atas mereka. Dan ditengah ketidakmengertian ini, tanpa
bermaksud mengutuk “orang-orang tersebut” atau mentolelir perbuatannya, saya pikir
bahwa memang hanya Tuhan lah yang bisa menilai keberadaan mereka. Kita-kita manusia hanya
bisa menerka dan menilai keberadaan mereka dengan kekuatan manusia yang tak
sempurna.
0 comments
Post a Comment