Friday, March 6, 2015

Tentang Film Fifty Shades of Grey (2015)

Gambar dari sini.
“You’re the complete serial killer!”
 -  Anastasia Steele -

Manusia memang punya hasrat penasaran sama sesuatu hal yang ramai dibicarakan orang. Apalagi kalau sesuatu itu melabeli dirinya dengan kata “kontroversial”. Tak peduli apakah kita sudah bisa menerka apa yang akan terjadi, tapi tetap saja rasa penasaran itu seringkali menggiring jalan kita menuju kesana. Walaupun terkadang, kita punya praduga kurang baik pada hal tersebut. Dalih sekedar ingin tahu atau ingin membuktikan apa yang sebenarnya terjadi memang sudah cukup menjadi alasan kita membuat negasi atas praduga tadi.
‘Fifty Shades of Grey’ adalah sebuah film yang mempunyai kriteria diatas. Jauh sebelum filmnya rilis, novelnya memang telah banyak mencuri perhatian orang. Premisnya yang ‘nakal’ telah mengundang rasa penasaran. Tak pelak, rasa penasaran tadi turut membawa kesukesesan bagi ‘Fifty Shades of Grey’. Novel dan filmnya laku keras di pasaran. Namun kesuksesan tadi tidak terlalu berjalan mulus. Premisnya yang (mungkin) kelewat ‘nakal’, turut memancing pertentangan dari berbagai kalangan. Termasuk dari kalangan aktivis pembela hak perempuan, karena ‘Fifty Shades of Grey’ dianggap merendahkan derajat kaum perempuan.
Saya menjadikan ‘Fifty Shades of Grey’ sebagai salah satu film yang saya tunggu tahun ini (baca: Daftar Film yang (Saya) Tunggu di 2015). Bukan karena alasan film ini drama romantis-erotis. Saya hanya ingin tahu saja film yang dari masa pembuatan sampai akhirnya tayang ini selalu dibicarakan banyak orang. Selalu jadi bahan pemberitaan media-media online. Dari promosi sampai kontroversi yang mengiringinya. Sebagai penikmat film, saya hanya ingin tahu, sekontroversial apakah ‘Fifty Shades of Grey’ itu?

Gambar dari sini.
‘Fifty Shades of Grey’ merupakan sebuah novel yang ditulis E.L. James yang konon katanya menjadikan ‘Twilight’ sebagai inspirasi menulisnya. Jadi jangan heran bila ada kesan ‘Twilight’ dalam ‘Fifty Shades of Grey’. Berbicara soal filmnya, ‘Fifty Shades of Grey’ adalah sebuah drama romantis dengan cerita yang sebenarnya sudah sangat usang. Sudah banyak sekali cerita dongeng, film, serial drama yang mengusung premis seperti ini. Seorang wanita biasa yang jatuh cinta pada sosok pria sempurna bak seorang pangeran. Namun yang beda dari ‘Fifty Shades of Grey’ adalah muatan erotis lewat unsur BSDM-nya. BSDM itu apa? Cari sendiri sajalah. Tapi kalau saya boleh bilang, itu membuat ‘sakit’.
Ya, alih-alih menghadirkan aksi pemancing fantasi liar, ‘Fifty Shades of Grey’ justru hadir dengan moment-moment sensual pesakitan. Mengundang rasa iba melihat si cantik Dakota Johnson harus dicambuki dalam keadaan tanpa busana. Terlebih lagi, sensualitas yang dihadirkanpun hanya berupa visual tak bernyawa. Tak ada keintiman yang terjalin disana.
Nilai minus ‘Fifty Shades of Grey’ dari aspek diatas juga ditambah dari bumbu romansanya. Entah kenapa, buat saya romantisme yang dihadirkan disini terlalu standar, cliche dan cheesy. Atau memang ceritanya juga yang sudah standar, cliche dan cheesy? Adegan terbang disini mungkin bisa jadi pembeda. Tetapi tetap saja hal itu tidak membuatnya menjadi spesial. Beruntung Sam Taylor-Johnson masih bisa menyajikan gambar-gambar yang lumayan artistik.
Terlepas dari banyaknya kekurangan film ini, harus diakui bahwa dua pemerannya sudah melakukan yang terbaik. Jamie Dornan walaupun masih terasa kurang kharismatik tapi tetap mampu membawakan karakter Christian Grey yang perfect. Dakota Johnson dengan wajah cantiknya juga sanggup menunjukkan totalitas akting yang mumpuni. Walaupun ia harus tampil tanpa sehelai benangpun menutupi kulit putihnya. Pernah membayangkan tidak betapa risih dan tak nyamannya bila harus beradegan “seperti itu”? Kalau pernah menonton film ‘Boogie Nights’-nya Paul Thomas Anderson pasti tahu betapa kompleksnya pembuatan film-film “seperti itu”. Atau setidaknya, film yang memuat adegan “seperti itu”.
Pada akhirnya, ‘Fifty Shades of Grey’ hanyalah sebuah drama romantis biasa yang hanya mencoba tampil berbeda lewat premis sensualnya. Kehebohan yang mengiringi perjalanan ‘Fifty Shades of Grey’ tak sejalan dengan hasil akhirnya. Terlalu standar. Tidak ada yang spesial dan berkesan. Konsep nakalnya pun juga terkesan tempelan semata. Beruntung dua pemeran utamanya tampil dengan cukup baik. 
Melihat hasil film pertamanya, masihkah menanti sekuelnya?

Note: Tentang Christian Grey
Christian Grey adalah sosok pria biasa. Atau lebih tepatnya, lebih dari sekedar biasa. Melihat sosok dan pencapaiannya, wanita mana yang tidak meleleh dibuatnya. Namun ungkapan ‘‘don’t judge a book by its cover” mungkin ada benarnya. Dan sepertinya itu berlaku buat Christian. Ya, sosok Christian Grey yang perfect dari luar justru menyimpan bagian lain dalam dirinya. Sebuah rahasia yang sangat tak biasa untuk manusia normal pada umumnya. Perilaku seksualnya menyimpang.
Melihat filmnya kita bisa tahu bahwa dia adalah sosok yang dominan dan intimidatif. Bahkan dalam urusan seksualitas. Kegemarannya terhadap BDSM, hobi bermainnya dengan barang-barang aneh mulai dari tali, penutup mata, selotip, borgol, flogger dsb. Semua itu tersimpan begitu rapi dalam sebuah ruangan. Ruangan khusus yang ia siapkan tidak hanya untuk menyimpan koleksinya, tapi juga untuk memenuhi hasratnya.

Salah satu adegan dalam film 'Fifty Shades of Grey'.
Gambar dari sini.
Perilaku menyimpang seperti ini memang selalu membuat saya tidak habis pikir dan tidak mengerti. Saya suka kesal sebenarnya kalau ada berita di TV tentang pelecehan seksual. Di Indonesia, berita-berita semacam ini kerap kali muncul. Yang paling membuat saya kesal adalah ada pria dewasa (bahkan ada oknum Ustadz) yang tega melakukan hal-hal tak “senonoh” pada anak-anak kecil. Mungkin dulu kita pernah dengar nama “Emon” yang sempat menggemparkan Indonesia dengan perbuatannya. Saya kesal karena, kenapa mereka mesti melakukan perbuatan itu? Come on, man! Memangnya apa yang didapat dari anak-anak umur 7-8 tahun? Laki-laki pula! Bahkan dari anak perempuan pun, apa yang bisa didapat? Memangnya apa yang sebenarnya diperbuat? Saya suka tak habis pikir kenapa ada orang yang bisa melakukan hal itu. Dan sampai saat inipun saya masih tidak mengerti.
 Mungkin saya memang tak bisa mengerti tentang hal itu, tapi disisi lain saya juga tak bisa seenaknya mengadili dan menghakimi. Karena bisa jadi ada alasan (yang juga sama saya tak mengertinya) yang membuat ada orang-orang berperilaku seperti itu. Christian Grey disini mencontohkannya. Perilaku seksual menyimpangnya memang bukan tanpa alasan. Dalam filmnya, kita sedikit mendapat penjelasan bahwa perilaku Christian memang tidak terjadi serta merta begitu saja. Ada masa dimana ia berumur 15 tahun, seorang teman ibunya melakukan sesuatu tidak mengenakan padanya selama 6 tahun. Belum lagi background kehidupan keluarga yang juga sama tak enaknya turut dirasakannya. Trauma masa lalu telah merubah kepribadiannya. Contoh lainnya, kita bisa lihat dari sosok Alan Turing dalam film ‘The Imitation Game’. Perilaku homoseksualnya juga bukan tanpa alasan.
Terlepas dari itu, ada sisi lain yang cukup menarik dari Christian Grey. Menurut saya dia adalah tipikal orang yang punya prinsip. Prinsip yang ia anut dibuktikan lewat sebuah kontak resmi yang tertulis lengkap dengan butir-butir peraturan yang bisa dinegosiasikan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Dia juga berujar bahwa ia melakukannya hanya pada wanita yang bersedia saja. Walaupun pada kasus hubungannya dengan Ana, kontrak belum ditandatangani, tapi Christian justru melakukan kebiasaanya, itu juga atas permintaan Ana. Di awal, Christian sebenarnya telah memperingatkan Ana untuk menjauh darinya karena ia bukanlah pria yang tepat untuk Ana. Dalam hal ini, saya tidak mentolelir apa yang diperbuat Christian. Tapi prinsipnya, membuatnya berkesan lebih elegan sebagai seorang berperilaku menyimpang.
Di dunia nyata, saya belum pernah melihat langsung fenomena perilaku menyimpang tersebut. Yang saya tahu hanya ada banci yang saya juga tak mengerti kenapa banci itu ada. Lebih seringnya, saya dengar dari pemberitaan di TV saja. Walaupun masih tak mengerti, namun kalau ditarik sedikit benang sejarah, awal mula perilaku menyimpang memang pernah terjadi pada zaman Nabi Luth, yang mana Alloh SWT telah memberi hukuman atas mereka. Dan ditengah ketidakmengertian ini, tanpa bermaksud mengutuk “orang-orang tersebut” atau mentolelir perbuatannya, saya pikir bahwa memang hanya Tuhan lah yang bisa menilai keberadaan mereka. Kita-kita manusia hanya bisa menerka dan menilai keberadaan mereka dengan kekuatan manusia yang tak sempurna.

0 comments