Friday, July 3, 2015

Beruntungnya Puasa di Indonesia

Saya merasa beruntung berada di Indonesia. Apalagi ketika tiba bulan ramadhan yang mewajibkan umat muslim untuk berpuasa. Berpuasa di Indonesia itu bisa dibilang ideal secara waktu. Tidak terlalu sebentar juga tidak terlalu lama. Apalagi kondisi iklim Indonesia yang ramah bagi para penduduknya. Tidak sampai terlalu dingin, tidak juga sampai terlalu panas. Sehingga puasa di Indonesia terasa begitu nyaman. Letak geografis Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa memiliki pengaruh besar terhadap hal ini.
Kenyataan berbeda tentu dirasakan oleh umat muslim di belahan dunia lain. Seperti yang kita ketahui sama-sama, bahwa hitungan waktu puasa adalah dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Masalahnya adalah waktu terbit dan terbenamnya matahari dari berbagai belahan dunia berbeda. ini dikarenakan pergerakan bumi terhadap matahari tidak lurus melainkan miring. Secara teori, pergerakan ini menyebabkan waktu-waktu tertentu (Maret – September) negara-negara dibelahan bumi utara menerima cahaya matahari lebih lama dari belahan bumi selatan. Dan di waktu yang lain (Oktober – Februari) negara-negara di belahan bumi selatan menerima cahaya matahari lebih lama dari belahan bumi utara.
Hal itu berimbas pada waktu puasa yang berbeda-beda. Ada yang pendek, ada pula yang panjang. Untuk jangka waktu puasa yang pendek mungkin tidak terlalu bermasalah. Tapi bagaimana dengan jangka waktu puasanya yang lama, yang bisa sampai 20 jam bahkan lebih. Di kutub malah tidak ada malam sama sekali. Lalu puasanya bagaimana? 24 jam? Saya jadi teringat ucapan canda guru matematika saya waktu SMA yang mempertanyakan bagaimana puasanya orang kutub.
Karena bulan ramadhan kali ini bertepatan dengan musim panas, negara-negara di Eropa paling terkena dampak akan hal ini. Hampir seluruh negara di Eropa melaksanakan puasa lebih lama dari kita di Indonesia. Apalagi negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Finlandia dan Swedia. Sedangkan Islandia masih dianggap negara yang memiliki waktu puasa paling lama sampai 22 jam. Dengan kata lain, umat muslim di Islandia hanya punya waktu kira-kira dua jam untuk sahur dan berbuka.
Selain permasalahan waktu, iklim juga bisa menjadi tantangan. Mungkin kita warga muslim Indonesia sudah nyaman dengan kondisi iklim tropisnya. Tapi bagaimana dengan belahan dunia lain yang mungkin iklimnya lebih ekstrim dari Indonesia. Bisa jadi lebih panas. Atau malah sebaliknya, lebih dingin. Tentu kondisi cuaca yang lebih panas menuntut tubuh lebih cepat dahaga. Sementara cuaca yang dingin menuntut tubuh lebih cepat lapar.
Tidak seperti di Indonesia yang ramai saat bulan puasa sampai semua hal bertema ramadhan. Lain dengan negara-negara minoritas muslim, bulan ramadhan hampir tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Tidak ada toleransi untuk jam kerja atau jam sekolah seperti Indonesia. Rutinitas tetap berjalan seperti biasa. Puasa pun menjadi semakin menantang ketika berada di lingkungan yang tidak berpuasa. Dalam urusan makananpun saya pikir, umat muslim dinegara minoritas akan sedikit kesulitan mencari makanan untuk berbuka dan sahur. Tidak seperti di kita yang berjubel jualan makanan. Apalagi umat muslim dinegara minoritas juga harus pandai-pandai memilih makanan untuk disantap.
Disatu sisi, kita umat muslim di Indonesia mungkin merasa beruntung berpuasa di negara ini. Selain negara mayoritas muslim, letak geografis negara Indonesia turut memberi kemudahan ketika menjalankan ibadah puasa. Tapi disisi lain, tidak kah kita merasa terlalu nyaman dengan kondisi seperti ini? Mungkin sebagian dari kita sempat berpikir bahwa puasa yang kita jalani ini biasa-biasa saja. Seperti sebuah kebiasaan saja. Imbasnya mungkin pada kualitas puasa itu sendiri. Yang turut berdampak pula pada pribadi masing-masing. Berbeda dengan berpuasa di negara orang (diluar zona nyaman Indonesia), dari berbagai aspek pun sudah banyak tantangan ketika menjalankan ibadah puasa. Pada akhirnya, keimanan lah yang membuat mereka kuat menjalankan puasa.
Jadi, jika mereka yang disana dengan segala problematikanya masih bisa berpuasa, dengan segala kenyamanan di Indonesia, tanpa uzur dan alasan yang jelas, kenapa masih tak berpuasa?

0 comments