Saya
merasa beruntung berada di Indonesia. Apalagi ketika tiba bulan ramadhan yang
mewajibkan umat muslim untuk berpuasa. Berpuasa di Indonesia itu bisa dibilang
ideal secara waktu. Tidak terlalu sebentar juga tidak terlalu lama. Apalagi
kondisi iklim Indonesia yang ramah bagi para penduduknya. Tidak sampai terlalu
dingin, tidak juga sampai terlalu panas. Sehingga puasa di Indonesia terasa begitu nyaman. Letak geografis Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa memiliki
pengaruh besar terhadap hal ini.
Kenyataan
berbeda tentu dirasakan oleh umat muslim di belahan dunia lain. Seperti yang
kita ketahui sama-sama, bahwa hitungan waktu puasa adalah dari terbit fajar
sampai terbenam matahari. Masalahnya adalah waktu terbit dan terbenamnya
matahari dari berbagai belahan dunia berbeda. ini dikarenakan pergerakan bumi
terhadap matahari tidak lurus melainkan miring. Secara teori, pergerakan ini
menyebabkan waktu-waktu tertentu (Maret – September) negara-negara dibelahan
bumi utara menerima cahaya matahari lebih lama dari belahan bumi selatan. Dan
di waktu yang lain (Oktober – Februari) negara-negara di belahan bumi selatan
menerima cahaya matahari lebih lama dari belahan bumi utara.
Hal
itu berimbas pada waktu puasa yang berbeda-beda. Ada yang pendek, ada pula yang
panjang. Untuk jangka waktu puasa yang pendek mungkin tidak terlalu bermasalah.
Tapi bagaimana dengan jangka waktu puasanya yang lama, yang bisa sampai 20 jam
bahkan lebih. Di kutub malah tidak ada malam sama sekali. Lalu puasanya
bagaimana? 24 jam? Saya jadi teringat ucapan canda guru matematika saya waktu SMA yang
mempertanyakan bagaimana puasanya orang kutub.
Karena
bulan ramadhan kali ini bertepatan dengan musim panas, negara-negara di Eropa
paling terkena dampak akan hal ini. Hampir seluruh negara di Eropa melaksanakan
puasa lebih lama dari kita di Indonesia. Apalagi negara-negara Skandinavia
seperti Norwegia, Finlandia dan Swedia. Sedangkan Islandia masih dianggap
negara yang memiliki waktu puasa paling lama sampai 22 jam. Dengan kata lain, umat
muslim di Islandia hanya punya waktu kira-kira dua jam untuk sahur dan berbuka.
Selain
permasalahan waktu, iklim juga bisa menjadi tantangan. Mungkin kita warga
muslim Indonesia sudah nyaman dengan kondisi iklim tropisnya. Tapi bagaimana dengan
belahan dunia lain yang mungkin iklimnya lebih ekstrim dari Indonesia. Bisa
jadi lebih panas. Atau malah sebaliknya, lebih dingin. Tentu kondisi cuaca yang
lebih panas menuntut tubuh lebih cepat dahaga. Sementara cuaca yang dingin
menuntut tubuh lebih cepat lapar.
Tidak
seperti di Indonesia yang ramai saat bulan puasa sampai semua hal bertema
ramadhan. Lain dengan negara-negara minoritas muslim, bulan ramadhan hampir
tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Tidak ada toleransi untuk jam kerja atau
jam sekolah seperti Indonesia. Rutinitas tetap berjalan seperti biasa. Puasa
pun menjadi semakin menantang ketika berada di lingkungan yang tidak berpuasa.
Dalam urusan makananpun saya pikir, umat muslim dinegara minoritas akan sedikit
kesulitan mencari makanan untuk berbuka dan sahur. Tidak seperti di kita yang
berjubel jualan makanan. Apalagi umat muslim dinegara
minoritas juga harus pandai-pandai memilih makanan untuk disantap.
Disatu
sisi, kita umat muslim di Indonesia mungkin merasa beruntung berpuasa di negara
ini. Selain negara mayoritas muslim, letak geografis negara Indonesia turut
memberi kemudahan ketika menjalankan ibadah puasa. Tapi disisi lain, tidak kah
kita merasa terlalu nyaman dengan kondisi seperti ini? Mungkin sebagian dari
kita sempat berpikir bahwa puasa yang kita jalani ini biasa-biasa saja. Seperti
sebuah kebiasaan saja. Imbasnya mungkin pada kualitas puasa itu sendiri. Yang
turut berdampak pula pada pribadi masing-masing. Berbeda dengan berpuasa di negara
orang (diluar zona nyaman Indonesia), dari berbagai aspek pun sudah banyak
tantangan ketika menjalankan ibadah puasa. Pada akhirnya, keimanan lah yang
membuat mereka kuat menjalankan puasa.
Jadi, jika mereka yang disana dengan segala problematikanya masih bisa berpuasa, dengan segala kenyamanan
di Indonesia, tanpa uzur dan alasan yang jelas, kenapa masih tak berpuasa?
0 comments
Post a Comment