“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah maka
gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat)
imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal”(Q.S. Al-Anfal: 8: 2)
Kapalan
(cullus – istilah kedokteran) adalah
kondisi dimana terjadi penebalan dan pengerasan pada kulit (telapak tangan,
telapak kaki, dsb). Kapalan terjadi karena proses terus menerus yang diterima
kulit baik berupa gesekan maupun tekanan yang berulang-ulang. Contoh. Tangan
petani akan menjadi kapalan karena intensitas petani yang memegang dan menggunakan
cangkul setiap hari. Kapalan sendiri merupakan respon alami tubuh sebagai
akibat tekanan atau gesekan untuk menghindari luka.
Kapalan
memang tidak berbahaya namun kapalan membuat struktur kulit menjadi lebih keras
dan menjadikannya mati rasa. Bagian tubuh yang mengalami kapalan akan secara
otomatis mengeras dan kehilangan rasa dan peka. Karena hilangnya rasa dan peka,
bagian kulit yang kapalan sudah tidak bisa lagi membedakan bahkan tidak bisa
lagi merasakan panas, dingin, sakit, geli, lembut, keras, dsb. Bagian fisik
yang mengalami kapalan mayoritas terjadi pada bagian yang tidak terlalu penting
sehingga seringkali kita tak mempedulikannya. Namun masihkah kita tidak peduli
jika yang terkena kapalan adalah hati nurani kita? Rohani kita? Qalbu kita?
Manusia
menjalani kehidupan yang hampir sama setiap harinya. Dari mulai bangun pagi
sampai tertidur kembali. Semuanya seperti pengulangan aktivitas yang rutin
dilakukan setiap hari. Aktivitas rutin ‘hampir sama’ tersebut terus dilakukan
berulang-ulang setiap harinya tanpa tahu kapan akan berhenti. Tak jarang
aktivitas rutin tersebut menjadi tameng yang disembunyikan dibalik alasan
bernama kesibukan. Lantas apakah kita pernah menyadari jika aktivitas rutin
tersebut tidak memiliki nilai tambah pada kualitas rohani kita? Atau justru
malah semakin mengurangi kualitas rohani kita? Atau tanpa kita sadari rutinitas
tersebut membuat rohani kita menjadi kapalan?
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, kapalan terjadi akibat proses yang terus
menerus. Kita bisa sebut itu sebagai kebiasaan. Dan sebelum semua terjadi dan membentuk
pola kebiasaan, ada hal yang sesungghnya sering kita lakukan, yaitu
mengabaikan. Pada awalnya kita akan merasa bersalah ketika melakukan kesalahan.
Namun kita mengabaikannya. Kemudian kita melakukan hal yang sama, masih ada
sedikit rasa bersalah disitu, namun juga kita abaikan. Sampai teramat seringnya
diabaikan, kita sudah tidak merasa bersalah lagi ketika melakukan kesalahan.
Mungkin
pada awalnya kita hanya sekali mengabaikan suara adzan dengan alasan kesibukan.
Hingga suara adzan berikutnya, kita pun mengabaikannya. Suara adzan berikutnya
demikian. Begitu seterusnya. Sampai lama kelamaan kita menjadi terbiasa
mengabaikan suara adzan. Dengan kata lain, kita terbiasa menunda shalat setiap
waktu. Atau justru malah terbiasa meninggalkannya.
Tulisan
ini dibuka dengan ayat Al Qur’an surat Al Anfal ayat 2. Disebutkan dari ayat
tersebut bahwa orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
maka gemetar hatinya. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
bertambah (kuat) imannya. Lalu apakah kita pun demikian? Bergetarkah qalbu kita
ketika disebutkan nama-Nya? Bertambah kuatkah keimanan kita ketika dibacakan
ayat-ayat-Nya? Atau sesungguhnya kita sudah tidak merasa lagi? Atau mungkin
selama ini qalbu kita sudah kapalan? Atau mungkin saking membatunya, qalbu kita
sudah tak bisa bisa lagi merasakan kehadiran-Nya?
0 comments
Post a Comment