Waktu
saya masih praktik industri disebuah perusahaan kontraktor, saya satu kelompok
dengan seorang teman perempuan. Bisa dibilang dia termasuk golongan yang saya
sebut dengan ‘akhwat’. Tak perlu lah saya jelaskan definisi ‘akhwat’ itu
sendiri. Tapi yang pasti, menurut saya, mereka itu hebat-hebat. Satu hal yang
saya kagumi dari mereka adalah kemana-mana mereka suka membawa Al Qur’an dan
membacanya dimanapun mereka berada.
Kembali
lagi ke masa praktik industri saya dulu. Waktu itu memang kita sedang menunggu (entah menunggu apa, saya lupa) di
kantor kontraktor tersebut. Awalnya saya terkejut melihat dia tiba-tiba
mengeluarkan Al Qur’an yang ada terjemahannya yang dilanjutkan dengan
membacanya. Saya terkejut bukan tanpa alasan, karena memang jarang saya temui
orang yang membawa Al Qur’an kemana-mana bahkan membacanya ditempat umum
seperti ini. Bahkan teman saya yang ngakunya hobi membaca Al Qur’an pun tak
pernah saya lihat dia membawa Al Qur’an kemana-mana dan membacanya seperti
teman ‘akhwat’ satu ini.
Orang
memang cenderung terkejut akan hal yang jarang dilakukan olehnya. Tak
terkecuali buat saya. Entah darimana asalnya, tapi saya punya stigma bahwa
membaca Al Qur’an itu harus dibaca di mesjid atau musholla. Paling tidak di rumah
atau di kamar sendiri. Namun setelah melihat teman ‘akhwat’ tadi, saya mulai
tersadar, bahwa pandangan saya soal ini ternyata masih sangat sempit sekali. Al
Qur’an memang bisa dibaca dimana saja. Bisa dipelajari dimana saja. Bahkan di
tempat umum yang penuh sesak dengan keramaian sekalipun.
Al
Qur’an itu pedoman. Al Qur’an itu pengingat. Al Qur’an itu obat. Al Qur’an itu
pembeda. Al Qur’an itu ilmu. Al Qur’an itu segalanya yang dibutuhkan manusia.
Semuanya ada disana. Tinggal kita saja manusia bagaimana harus
memperlakukannya. Dan saya pikir apa yang dilakukan oleh teman ‘akhwat’ itu
tepat. Lebih tepat dan lebih baik dari saya yang kemana-mana malah membawa
novel terjemahan. Hehe.
Sebagai
seorang muslim, tentu harus dekat dengan pedomannya. Dan karena itulah Al
Qur’an ada. Namun tak jarang diantara kita menjadikan Al Qur’an sebagai hiasan
tanda bahwa kita orang Islam saja. Saya yakin bahwa semua orang mempunyai Al
Qur’an nya masing-masing, namun tak jarang Al Qur’an hanyalah sekedar tumpukan
kertas semata. Seolah tak berbeda dengan tumpukan-tumpukan kertas lainnya.
Lantas, seberapa seringkah kita
menyentuhnya? Seberapa seringkah kita membacanya? Seberapa seringkah kita
mempelajari dan memahaminya? Seberapa seringkah kita mencoba dekat dengannya?
Tak
berhenti sampai disitu, karena tak jarang pula ada orang yang ‘nyinyir’ jika
ada orang yang membawa dan membaca Al Qur’an ditempat umum (seperti teman
‘akhwat’ tadi). Mereka itu kadang dianggap sok suci lah. Sok religius lah. Sok
agamis lah. Lebih parah lagi jika yang ‘nyinyir’ itu sama-sama muslim. Padahal
Al Qur’an memang bisa dibawa dan dibaca dimana saja. Sesederhana itu.
Setidaknya, daripada kita ‘nyinyir’, mending kita renungkan kembali atas apa
yang kita lakukan.
Jika orang muslim
sendiri saja sudah ‘nyinyir’ sama saudaranya yang lain yang membawa dan membaca
Al Qur’an di tempat umum, kalau sudah begitu, lalu bagaimana?
0 comments
Post a Comment