Thursday, July 9, 2015

Mereka yang Membawa Al Qur’an

Waktu saya masih praktik industri disebuah perusahaan kontraktor, saya satu kelompok dengan seorang teman perempuan. Bisa dibilang dia termasuk golongan yang saya sebut dengan ‘akhwat’. Tak perlu lah saya jelaskan definisi ‘akhwat’ itu sendiri. Tapi yang pasti, menurut saya, mereka itu hebat-hebat. Satu hal yang saya kagumi dari mereka adalah kemana-mana mereka suka membawa Al Qur’an dan membacanya dimanapun mereka berada.
Kembali lagi ke masa praktik industri saya dulu. Waktu itu memang kita sedang menunggu (entah menunggu apa, saya lupa) di kantor kontraktor tersebut. Awalnya saya terkejut melihat dia tiba-tiba mengeluarkan Al Qur’an yang ada terjemahannya yang dilanjutkan dengan membacanya. Saya terkejut bukan tanpa alasan, karena memang jarang saya temui orang yang membawa Al Qur’an kemana-mana bahkan membacanya ditempat umum seperti ini. Bahkan teman saya yang ngakunya hobi membaca Al Qur’an pun tak pernah saya lihat dia membawa Al Qur’an kemana-mana dan membacanya seperti teman ‘akhwat’ satu ini.
Orang memang cenderung terkejut akan hal yang jarang dilakukan olehnya. Tak terkecuali buat saya. Entah darimana asalnya, tapi saya punya stigma bahwa membaca Al Qur’an itu harus dibaca di mesjid atau musholla. Paling tidak di rumah atau di kamar sendiri. Namun setelah melihat teman ‘akhwat’ tadi, saya mulai tersadar, bahwa pandangan saya soal ini ternyata masih sangat sempit sekali. Al Qur’an memang bisa dibaca dimana saja. Bisa dipelajari dimana saja. Bahkan di tempat umum yang penuh sesak dengan keramaian sekalipun.
Al Qur’an itu pedoman. Al Qur’an itu pengingat. Al Qur’an itu obat. Al Qur’an itu pembeda. Al Qur’an itu ilmu. Al Qur’an itu segalanya yang dibutuhkan manusia. Semuanya ada disana. Tinggal kita saja manusia bagaimana harus memperlakukannya. Dan saya pikir apa yang dilakukan oleh teman ‘akhwat’ itu tepat. Lebih tepat dan lebih baik dari saya yang kemana-mana malah membawa novel terjemahan. Hehe.
Sebagai seorang muslim, tentu harus dekat dengan pedomannya. Dan karena itulah Al Qur’an ada. Namun tak jarang diantara kita menjadikan Al Qur’an sebagai hiasan tanda bahwa kita orang Islam saja. Saya yakin bahwa semua orang mempunyai Al Qur’an nya masing-masing, namun tak jarang Al Qur’an hanyalah sekedar tumpukan kertas semata. Seolah tak berbeda dengan tumpukan-tumpukan kertas lainnya. Lantas, seberapa seringkah kita menyentuhnya? Seberapa seringkah kita membacanya? Seberapa seringkah kita mempelajari dan memahaminya? Seberapa seringkah kita mencoba dekat dengannya?
Tak berhenti sampai disitu, karena tak jarang pula ada orang yang ‘nyinyir’ jika ada orang yang membawa dan membaca Al Qur’an ditempat umum (seperti teman ‘akhwat’ tadi). Mereka itu kadang dianggap sok suci lah. Sok religius lah. Sok agamis lah. Lebih parah lagi jika yang ‘nyinyir’ itu sama-sama muslim. Padahal Al Qur’an memang bisa dibawa dan dibaca dimana saja. Sesederhana itu. Setidaknya, daripada kita ‘nyinyir’, mending kita renungkan kembali atas apa yang kita lakukan.
Jika orang muslim sendiri saja sudah ‘nyinyir’ sama saudaranya yang lain yang membawa dan membaca Al Qur’an di tempat umum, kalau sudah begitu, lalu bagaimana?

0 comments