Monday, June 22, 2015

Anime Review: Barakamon (2014)


“Mampu bekerja keras adalah bakat terbaik”
– Hiroshi –

Handa Seisshu boleh saja merasa dirinya berbakat dan terlahir sebagai seorang kaligrafer tulen. Namun seorang pria tua bertongkat memiliki pandangan lain tentang dirinya. Pada acara penganugerahan Eika Awards, si pria tua melontarkan kritik tajamnya kepada Handa. Menyebut kaligrafi Handa terlampau sederhana, tak berkarakter dan membosankan, membuat telinga Handa memanas. Tak terima dengan ucapan si pria tua, jiwa muda nan labil Handa meradang. Pukulan telak pun dialamatkan di wajah si pria tua yang tak berdaya. Insiden pemukulan tersebut mengharuskan Handa tinggal sementara di pulau terpencil atas perintah ayahnya.
Ada premis menarik yang ditawarkan anime yang disebut-sebut sebagai salah satu anime musim panas terbaik tahun 2014 ini. Lewat premisnya, sudah cukup jelas sekiranya mengenai tujuan apa yang ingin dicapai dan disampaikan kepada penonton. Sebagai anime bergenre Slice of Life, ‘Barakamon’ akan dipenuhi muatan-muatan moral bernilai dan inspiratif. Dalam perjalanannya, ‘Barakamon’ tidak menjadi guru penceramah yang terus menerus menjejali pelajaran-pelajaran hidup bagi penontonnya. ‘Barakamon’ justru hadir dengan unsur komedi pemancing tawa yang dihadirkan para karakternya.
Gaya hidup orang kota dan desa memang berbeda. Sedikit banyak, hal ini turut mempengaruhi karakter masyarakat kota dan desa yang juga saling bertolak belakang. Cara bersikap, berbicara dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan penduduk kota dan desa juga berbeda. Tak jarang bila seseorang melakukan urbanisasi ke kota, ia akan mewarisi karakter masyarakat kota dimana ia tinggal. Dan ketika ia kembali ke desa, ia akan dicap berbeda dan berubah oleh masyarakat desa. Begitupun sebaliknya.
Kesan individualistis erat dengan image masyarakat kota. Sementara masyarakat desa lekat dengan kebersamaan, gotong royong dan hidup bermasyarakat. Kesan mewah dan modern sangat erat di masyarakat kota. Sementara masyarakat desa sangat dekat dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Sikap yang berlebihan pada seorang pria tua bertongkat dianggap kurang pantas dilakukan oleh seorang anak muda seperti Handa. Maka menjadi beralasan ketika sang ayah menghijrahkannya untuk tinggal sementara di desa di pulau terpencil bernama Goto tersebut. Selain mengasah kemampuannya menulis kaligrafi, hal penting lainnya adalah merubah pribadi Handa menjadi lebih baik lewat pengalaman hidup yang didapatnya di desa. Seperti yang pernah dilakukannya waktu muda dulu.


‘Barakamon’ adalah tentang Handa Seisshu. Maka tak heran bila sepanjang 12 (dua belas) episode bergulir, karakter Handa terlihat begitu vokal dalam hal karakterisasi. Hal ini memang disengaja, karena memang itulah tujuannya. Bagaimana perubahan karakter Handa sebelum dan setelah tinggal di pulau tersebut. Biarpun begitu, dominasi karakterisasi Handa disini tidak lantas menutup peran karakter-karakter pendukungnya. Bahkan keberadaan mereka mempunyai peranan penting dalam terciptanya perkembangan karakter pada diri Handa.
Pulau Goto berhasil membawa perubahan karakter pada diri Handa. Hal-hal yang tak pernah ia sadari, yang tak pernah ia pedulikan atau yang tak pernah ia khawatirkan sewaktu hidup di Tokyo. Menjadi berarti ketika ia menjalaninya di desa. Orang-orang seperti Naru, Miwa, Hiroshi dan tokoh-tokoh unik lainnya menjadi pembeda bagi hidup Handa yang terlalu nyaman di Tokyo. Pengalaman hidup dan kejadian yang dialaminya di desa tidak hanya menjadikannya dewasa dan matang secara karakter tapi menjadikannya dewasa dalam berkarya.


Sebagai penonton, kita seolah diajak bercermin dan melihat diri masing-masing ketika melihat Handa menjalani hidup dengan segala problematikanya. Kesan inspiratif pun muncul disini. Cukup terasa juga pesan moral yang ingin disampaikan lebih mengena tanpa harus menggurui penontonnya. Berbicara komedinya, ‘Barakamon’ memang berhasil menyajikan unsur komedi yang bisa membuat tertawa. Walaupun begitu, tak jarang selipan komedinya (yang kadang terlalu over) malah terlalu bodoh dan annoying dimata saya. Ya, mungkin ini hanya masalah selera saja.
Pada setiap episodenya kita akan menemukan pola penceritaan yang sama. Bergantian kita diajak melihat hidup dari sisi yang serius kemudian dibuat tertawa lagi disisi yang hampir bersamaan. Seterusnya begitu, membuat pola penceritaan ‘Barakamon’ menjadi mudah tertebak. Karena akan ada saatnya moment insipiratif atau haru muncul. Lalu pada saat yang hampir bersamaan kita dibuat tertawa lagi oleh tingkah polah karakternya. Beruntung pengemasan cerita per episodenya cukup berbeda. Sehingga secara keseluruhan, semuanya baik-baik saja. Episode pertama adalah episode favorit saya.
Jauh sebelum episode penutup, sebenarnya kita sudah tahu dan bisa menebak apa yang akan terjadi pada diri Handa Seisshu dibagian akhir. Tapi tentu itu tidak menjadi kekurangan ‘Barakamon’ ketika kita bisa melakukannya. Karena pada dasarnya, ‘Barakamon’ memang lebih menekankan proses daripada hasil. Dan proses itu berhasil dihadirkan dengan cukup menyenangkan oleh ‘Barakamon’.
Skor: 7.5/10

0 comments