Sunday, June 14, 2015

Resensi Buku: Dilan - Dia Adalah Dilanku Tahun 1990


Cinta dan SMA. Dua hal yang berbeda secara sifat, wujud dan rupa. Tapi jika dipersatukan akan melebur menjadi spektrum rasa bagi siapapun yang mengalaminya. Menjadikan dunia yang masih terasa abu menjadi lebih berwarna. Manis, asam dan pahit ‘cinta’ berpadu bersama gejolak muda putih-abu. Selalu mengguratkan kisah penuh memory yang tak akan habis untuk dikenang. Cinta dan SMA, siapapun berhak memilikinya. Milea, siswi asal Jakarta, baru hijrah ke Bandung. Semula, semua terasa biasa sampai seorang siswa tak dikenal menyapanya di sekolah. Berawal dari ramalan si siswa tak dikenal, hari-hari Milea menjadi tak sama lagi tanpa pernah ia duga sebelumnya.
‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’, judul yang mengawali perkenalan saya dengan buku karya Pidi Baiq (1972-2098). Pidi Baiq merupakan sosok dibalik band asal Bandung ThePanasDalam atau ia sering menyebutnya Imam Besar ThePanasDalam. Pidi Baiq sendiri sudah beberapa kali menelurkan buku dengan yang bisa dibilang ‘agak’ nyeleneh. Namun di karya yang rilis tahun 2014 lalu ini, seorang Pidi Baiq mengulik kisah cinta SMA dalam plotnya. Cukup menggelitik untuk dibaca.
Plot ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ amatlah ringan dan sederhana. Hanya berkutat soal muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Muda-mudi yang sedang mengagumi satu sama lain. Setting yang dihadirkan pun hanya disitu-situ saja, sekolah, rumah, kantin, jalanan, dsb. Namun bukan Pidi Baiq namanya jika tidak menyulap sesuatu sederhana menjadi berkesan. Adalah Dilan, figur yang menjadi ruh disini.
Keunggulan ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ jelas ada pada karakter Dilan itu sendiri. Dengan segala keunikan karakternya, ia berhasil menghipnotis para pembaca untuk terus mengikuti alur ceritanya. Berharap ada kenyelenehan apa lagi yang akan ia lakukan atau ia ucapkan. Pola pikirnya yang selalu out of the box mungkin jadi dambaan para lelaki untuk meraih hati wanita. Mungkin juga para pembaca perempuan juga dibuat senang atau merasa sangat digombali oleh tingkah laku Dilan yang beda dari yang lain. Mengingat ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ juga mengambil sudut pandang Milea, yang notabene ia adalah seorang perempuan.
Sosok Dilan memang sangat menarik, saking menariknya bahkan mungkin ada pembaca yang ingin menjadi seperti Dilan. Tidak salah memang, tapi apa yang saya tangkap disini adalah bahwa Dilan tidak mengajarkan pembaca untuk menjadi Dilan. Justru Dilan mengajak pembaca untuk menjadi diri sendiri. Seperti yang ia bilang dalam sebuah dialog bersama Milea, bahwasanya setiap orang itu berbeda-beda. Ada yang begini. Ada yang begitu. Tak bisa sama atau disama-samakan. Digambarkan pula bila sosok Dilan selalu seperti itu, apa adanya. Dengan kata lain, Dilan tetap jadi dirinya sendiri dimanapun ia berada. Dengan siapapun ia berbicara.
Sebenarnya, tipikal karakter seperti Dilan bukanlah karakter yang baru. Karakter yang unik, berbeda, berkesan ‘nakal’, namun cerdas dan penuh kejutan, sudah cukup sering diangkat dalam medium cerita. Entah itu di buku, film atau medium cerita lainnya. Tapi biarpun begitu, Dilan tetap punya identitas sendiri. Itu bisa dilihat dari cara ia berbicara, menelepon, memberi kado ulang tahun, membuat puisi dan berbagai hal unik lainnya (yang sudah baca pasti tahu). Dan itu semua adalah buah dari signature khas seorang Pidi Baiq.
‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ menggulirkan ceritanya dengan bahasa sehari-hari yang ringan. Paragraf demi paragraf dirangkai dengan sederhana tapi tidak menye-menye dan lebay. Membuatnya lebih mudah dicerna dan diikuti. Set waktu ’90-an juga turut membawa cerita menjadi terasa lebih nyaman. Setidaknya kita bisa membayangkan Bandung era ‘90-an yang tidak seperti Bandung sekarang. Paris van Java yang romantis.
Buat para penggemar Pidi Baiq, rasanya tidak ada alasan untuk tidak membacanya. Buat para pembaca biasa, buku ini cukup recommended (sekali baca sudah cukup). Meskipun tidak sampai bagus sekali seperti kata orang-orang (setidaknya buat saya). Ini cheesy dan cliche, tapi ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ tetap akan membawamu menyusuri kisah cinta SMA ala ‘90-an di Bandung yang sederhana tapi berbeda dengan caranya. Terlebih ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ membawa kisah romansa pada fase yang disebut orang sebagai fase ‘pedekate’. Fase yang katanya (sesungguhnya) lebih indah bila dibanding fase ‘jadian’ atau resmi ‘pacaran’. Dan seperti yang pernah diisyaratkan Milea di suatu malam, kisah romansanya dengan Dilan akan berlanjut dibuku kedua.

0 comments