Cinta
dan SMA. Dua hal yang berbeda secara sifat, wujud dan rupa. Tapi jika
dipersatukan akan melebur menjadi spektrum rasa bagi siapapun yang
mengalaminya. Menjadikan dunia yang masih terasa abu menjadi lebih berwarna.
Manis, asam dan pahit ‘cinta’ berpadu bersama gejolak muda putih-abu. Selalu
mengguratkan kisah penuh memory yang
tak akan habis untuk dikenang. Cinta dan SMA, siapapun berhak memilikinya.
Milea, siswi asal Jakarta, baru hijrah ke Bandung. Semula, semua terasa biasa sampai
seorang siswa tak dikenal menyapanya di sekolah. Berawal dari ramalan si siswa
tak dikenal, hari-hari Milea menjadi tak sama lagi tanpa pernah ia duga
sebelumnya.
‘Dilan:
Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’, judul yang mengawali perkenalan saya dengan
buku karya Pidi Baiq (1972-2098). Pidi Baiq merupakan sosok dibalik band asal
Bandung ThePanasDalam atau ia sering menyebutnya Imam Besar ThePanasDalam. Pidi
Baiq sendiri sudah beberapa kali menelurkan buku dengan yang bisa dibilang ‘agak’
nyeleneh. Namun di karya yang rilis tahun 2014 lalu ini, seorang Pidi Baiq
mengulik kisah cinta SMA dalam plotnya. Cukup menggelitik untuk dibaca.
Plot
‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ amatlah ringan dan sederhana. Hanya
berkutat soal muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Muda-mudi yang sedang
mengagumi satu sama lain. Setting
yang dihadirkan pun hanya disitu-situ saja, sekolah, rumah, kantin, jalanan,
dsb. Namun bukan Pidi Baiq namanya jika tidak menyulap sesuatu sederhana
menjadi berkesan. Adalah Dilan, figur yang menjadi ruh disini.
Keunggulan
‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ jelas ada pada karakter Dilan itu sendiri. Dengan segala keunikan
karakternya, ia berhasil menghipnotis para pembaca untuk terus mengikuti alur
ceritanya. Berharap ada kenyelenehan apa lagi yang akan ia lakukan atau ia
ucapkan. Pola pikirnya yang selalu out of
the box mungkin jadi dambaan para lelaki untuk meraih hati wanita. Mungkin
juga para pembaca perempuan juga dibuat senang atau merasa sangat digombali
oleh tingkah laku Dilan yang beda dari yang lain. Mengingat ‘Dilan: Dia Adalah
Dilanku Tahun 1990’ juga mengambil sudut pandang Milea, yang notabene ia adalah
seorang perempuan.
Sosok
Dilan memang sangat menarik, saking menariknya bahkan mungkin ada pembaca yang
ingin menjadi seperti Dilan. Tidak salah memang, tapi apa yang saya tangkap
disini adalah bahwa Dilan tidak mengajarkan pembaca untuk menjadi Dilan. Justru
Dilan mengajak pembaca untuk menjadi diri sendiri. Seperti yang ia bilang dalam
sebuah dialog bersama Milea, bahwasanya setiap orang itu berbeda-beda. Ada yang
begini. Ada yang begitu. Tak bisa sama atau disama-samakan. Digambarkan pula
bila sosok Dilan selalu seperti itu, apa adanya. Dengan kata lain, Dilan tetap
jadi dirinya sendiri dimanapun ia berada. Dengan siapapun ia berbicara.
Sebenarnya,
tipikal karakter seperti Dilan bukanlah karakter yang baru. Karakter yang unik,
berbeda, berkesan ‘nakal’, namun cerdas dan penuh kejutan, sudah cukup sering
diangkat dalam medium cerita. Entah itu di buku, film atau medium cerita
lainnya. Tapi biarpun begitu, Dilan tetap punya identitas sendiri. Itu bisa
dilihat dari cara ia berbicara, menelepon, memberi kado ulang tahun, membuat
puisi dan berbagai hal unik lainnya (yang sudah baca pasti tahu). Dan itu semua
adalah buah dari signature khas
seorang Pidi Baiq.
‘Dilan:
Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ menggulirkan ceritanya dengan bahasa sehari-hari
yang ringan. Paragraf demi paragraf dirangkai dengan sederhana tapi tidak
menye-menye dan lebay. Membuatnya lebih mudah dicerna dan diikuti. Set waktu
’90-an juga turut membawa cerita menjadi terasa lebih nyaman. Setidaknya kita bisa membayangkan
Bandung era ‘90-an yang tidak seperti Bandung sekarang. Paris van Java yang
romantis.
Buat
para penggemar Pidi Baiq, rasanya tidak ada alasan untuk tidak membacanya. Buat
para pembaca biasa, buku ini cukup recommended (sekali baca sudah cukup).
Meskipun tidak sampai bagus sekali seperti kata orang-orang (setidaknya buat saya). Ini cheesy dan cliche, tapi ‘Dilan: Dia
Adalah Dilanku Tahun 1990’ tetap akan membawamu menyusuri kisah cinta SMA ala
‘90-an di Bandung yang sederhana tapi berbeda dengan caranya. Terlebih ‘Dilan:
Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ membawa kisah romansa pada fase yang disebut
orang sebagai fase ‘pedekate’. Fase yang katanya (sesungguhnya) lebih
indah bila dibanding fase ‘jadian’ atau resmi ‘pacaran’. Dan seperti yang
pernah diisyaratkan Milea di suatu malam, kisah romansanya dengan Dilan akan
berlanjut dibuku kedua.
0 comments
Post a Comment