“The
beginning! The beginning of everything!”
-
Noah -
Noah
adalah salah satu film yang masuk daftar tunggu saya di tahun 2014 ini. Ada dua
alasan kenapa film ini menjadi ditunggu buat saya. Pertama, karena ada nama
Darren Aronofsky yang mengisi spot director
untuk film ini. Seperti yang kita tahu Darren Aronofsky termasuk salah satu director yang punya signature khas dalam film-filmnya. Coba saja tengok ‘Requiem for a
Dream’, ‘The Wrestler’ atau ‘Black Swan’. Kedua, karena film ini mengisahkan
seseorang yang besar, seseorang yang ketika saya kecil sering mendengar
kisahnya. Salah satu Nabi Allah yaitu Nabi Nuh.
Membawa
tema religi dalam dunia film memang susah karena hampir pasti menimbulkan tingkat
sensitifitas yang cukup tinggi. Apalagi kalau kisah tersebut diambil dari seorang
pembawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sudah tertera dalam Al Kitab. Buat
kita-kita yang masih fanatik, kontroversi tentu tak akan bisa diindahkan. Termasuk
saya ketika menonton film ini pertama kali. Meskipun dari jauh-jauh hari Darren
Aronofsky sudah bilang bahwa kisah ini tidak murni menyadur dari Al Kitab. Melainkan
melakukan adaptasi bebas dan menambahkan element-element fantasi untuk
memberikan kesan hiburannya. Tapi tetap saja kontroversi tersebut tak bisa dihindari
dan menyebabkan film ini mendapat berbagai kecaman dan larangan di berbagai
negara, termasuk Indonesia. Dari sana saya berkesimpulan. Jadi, sebelum
menonton ‘Noah’ kita harus memposisikan pandangan kita dulu pada film ini.
Apakah kita menontonnya murni sebagai hiburan semata. Seperti halnya film-film
yang kita tonton tanpa mempedulikan sosok Noah itu sendiri atau justru
sebaliknya.
Sebagai
sebuah hiburan, film ini memang tampil cukup baik. Dana sebesar 130 juta dolar
yang digelontorkan untuk film ini memang tidak disia-siakan. Hasilnya, sebuah parade
visual efek dan CGI cantik yang bekerja cukup baik untuk membuat kita tetap
terduduk. ‘Noah’ memang film ambisiusnya Darren tapi kalau dibilang karya
terbaiknya, rasanya bukan. Alasannya sederhana, plot yang dihadirkan disini
terkesan terlalu bermain aman. Tidak ada hal istimewa yang benar-benar mengikat
penonton untuk ikut larut dalam suasana. Bukan berarti jelek, hanya saja karena
ini filmnya Darren Aronofsky, jadinya ada semacam ekspektasi lebih yang saya
harapkan dari film ini.
Dan
sebagai sebuah bilbical story, ekspektasi
kita adalah setidaknya ‘Noah’ mampu memberi inspirasi spiritual lewat kisahnya.
Namun justru aspek ini malah terkesan kurang menonjol. Selain rasa fanatisme
yang mengganggu kenikmatan saya menonton film ini (meskipun sudah saya coba kesampingkan tapi tetap tak bisa). Overall, film ini tidak sanggup memberikan
efek spiritual yang besar buat saya. Dalam arti, hubungan intim manusia dan
Tuhan disini kurang tergali sehingga auranya kurang begitu terasa.
Daripada
tampil sebagai sosok Nabi kekasih Tuhan, Darren Aronofsky memang memilih
menempatkan sosok Noah tersebut sebagai sosok manusia biasa. Seorang kepala keluarga
yang dihadapkan pada konflik batin terhadap apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya.
Namun itu bukanlah kelemahan karena justru itulah nilai plusnya ‘Noah’.
Karakter yang diperankan oleh Russel Crowe ini berhasil tampil membawa sentuhan
emosi khas film-film Darren Aronofsky yang kita kenal. Dan saya rasa disinilah moment manisnya.
Pada
akhirnya, saya memandang film ini murni sebagai hiburan berkonsep religius
semata. Membuang jauh-jauh sosok Nabi Nuh yang saya yakini di film ini.
Menyimpan sejenak fanatisme yang ada. Dan memandang ‘Noah’ sebagai sebuah film
yang kisahnya meminjam dari kisah Nabi Nuh. Hasilnya, sebuah film
drama-adventure yang tampil cukup menyenangkan. Lengkap dengan berbagai element
fantasinya. Apalagi ada dukungan sisi teknis yang tampil ciamik dalam balutan
visual efek dan CGI. Dan walaupun tampil tidak terlalu menonjol, aspek religius
yang dihadirkan disini sudah tampil cukup berimbang. Dan sudah cukup memberi
penontonnya sebuah bahan renungan.
0 comments
Post a Comment